Setelah
menimbang-nimbang segala kemungkinan maka rajapun menetapkan tempat perbukitan
itu sebagai persinggahan terakhir dengan nama "Bumiayu". Artinya 'bumi
atau daerah yang cantik' karena subur dan strategis.
Sejak itu, mereka sibuk mendirikan permukiman, mengolah lahan menjadi persawahan, membuka jalan, membangun jembatan, irigasi dan menyapa setiap orang yang kebetulan melintasinya. Siapa tahu orang-orang pun bersedia bergabung untuk membangun kemakmuran.
Tidak lama kemudian,tempat itu berkembang menjadi sebuah pemukiman yang ramai sehingga makin gembiralah hati mereka. Kemanapun mereka berpergian untuk bersawah dan berdagang
selalu menyebut dirinya orang-orang "BUMIAYU". Mereka sudah melupakan
asal-usulnya yang jauh dari Jawa Timur. Prabu Kameswara sendiri tidak pernah mengabarkan masa silamnya sebagai seorang
raja. Kehidupan masyarakkat di Bumiayu berjalan alamiah,sederhana,penuh semangat
gotong royong atau paguyuban yang segar. Tidak ada jabatan yang tingi-tinggi seperti raja, patih, punggawa, dan
sebagainya. Prabu Kameswara pun hanya di kenal sebagai lurah atau sesepuh.
Artinya tokoh yang di hormati dan di tuakan.
Beperapa tahun kemudian , makin berkembanglah Bumiayu sehingga timbul kesadaran orang untuk membangun pemerintahan. Ternyata hal tersebut membangkitkan kembali kenangan Prabu Kameswara terhadap kedudukanya di Negeri Daha yang jauh."Aku punya kenangam pengalaman menjadi raja" apa salahnya diterapkan disini untuk membangun masa depan anak cucuku? akan kubuang kesalahan dan kupupuk kebaikan.
Dengan modal pemikiran itulah Prabu Kameswara berkemas2 membangun
pemerintahan,setelah mempertimbangkan dan berfikir matang maka pada suatu saat
dia pun berani mengabarkan berdirinya sebuah pemerintahan bernama "DAHA" dengan istana bernama
Bumi Pakuwon seperti asal usulnya di Jawa Timur.
Adapun rajanya sendiri bergelar Prabu Silihwangi (bukan siliwangi). Kata silih artinya "berganti" sedangkan "wangi" berarti nama yang harum.Di balik harapan itu terkandung siasat untuk menghilangkan jejak sebagai pelarian dari negeri yang jauh........
Buku tersebut berisikan cerita-cerita rakyat Brebes dari wilayah selatan karya
Yudiono KS. Meski dalam cerita tersebut banyak menyoroti Bumiayu, ada satu bab
yang membahas Tancep Kayon yang mengupas asal muasal nama Brebes. Dari bab
terakhir ini muncul cerita persaingan antara Raja Ciung Wanara yang menguasai
Pakuwon Barat dan Jaka Slauk alias Aryo Bangah yang menguasai Pakuwon Timur.
Keduanya
berusaha saling menguasai wilayah yang lain. Kemenangan pun akhirnya berada di
tangan Ciung Wanara.
Tidak Pendendam
Meski menang, Ciung ternyata tampil sebagai raja yang sederhana dan tidak
pendendam. Ciung tetap merekrut Aryo Bangah dalam pemerintahannya. Dia mendapat
wisik dari Mbah Jaka Poleng bahwa dirinya akan mampu menjalankan pemerintahan
dengan baik. Tokoh Jaka Poleng disebut
dalam buku itu saat meninggal tidak ada fisiknya (mekarman). Hingga kini pun
tokoh ini masih dianggap ada oleh sebagian besar anggota masyarakat Brebes.
Cerita rakyat (folkor) tersebut boleh di bilang hampir punah bahkan sebagian
masyarakat Brebes tidak tahu apa itu "Babad Pakuwon" sebagai upaya melestarikan
cerita rakyat yang pernah ada di daerah brebes sudah saatnya teman-teman, sedulur-sedulur kabeh
sing ning Brebes, Bumiayu, Linggapura, Tonjong, Balapusuh, Nagarayu, Patuguran dan lain-lain mari
lestarikan babad ini agar anak cucu kita tahu akan Sejarah dan tak buta tentang Sejarah.
Lao Tse, orang suci Cina, menyatakan :”Dengan memahami masa lalu, engkau akan
menguasai masa depan” (Nasr.1984).
Bung Karno menandaskan "Jangan sekali – kali meninggalkan sejarah"
atau yang sering disebut dengan
"JASMERAH". Bahkan beliau tandaskan bahwa : “Karena dari mempelajari
sejarah orang bisa menemukan hukum, hukum yang menguasai kehidupan manusia.
Mas sigit aslinya mana?
BalasHapusBumiayu mana ?
Saya keturunan majapahit kalierang
Moyang saya dipawangsa dr ibu
Sayapun lagi menggali sejarah