Putusnya Perkawinan
Menurut
UU Perkawinan
MAKALAH
Untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur Hukum Keluarga dan Perkawinan
SIGIT
BUDHIARTO
E1A0 10
234
KELAS C
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
HUKUM
2011/2012BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Itu yang
membedakan dengan makhluk hidup ciptaan Tuhan yang lain. Manusia dikatakan
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Untuk
mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia
bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan
saling menjaga satu sama lainnya.
Dalam hubungannya antara manusia yang satu dan manusia yang lain tentu
harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi. Manusia tidak
lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain. Sebagai contoh, untuk
dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai suami dan isteri, manusia
harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian mendaftarkan perkawinannya
tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh kepastian hukum. Baik dari
segi agama maupun dari segi hukum.
Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya perkawinan, karena dengan adanya
perkawinan menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang
berkembang menjadi kerabat dan akhirnya menjadi masyarakat.
Namun
suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai
dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu
disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain atau pihak ke-3.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bagaimanakah Putusnya
Perkawinan dan Apa akibatnya Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan ?
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian
Perkawinan
Dari sudut ilmu bahasa, perkataan perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari
bahasa arab “nikah”. Di samping kata
nikah dalam bahasa arab lazim juga dipergunakan kata “ziwaaj” untuk maksud yang sama. Perkataan nikah mengandung 2
pengertian yaitu dalam arti yang sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaaz).
Dalam pengertian yang sebenarnya kata “nikah”
itu berarti “berkumpul”, sedangkan
dalam arti kiasan berarti “akad” atau
“mengadakan perjanjian perkawinan”.[1]
Dalam penggunaan sehari-hari kata “nikah”
lebih banyak dipakai dalam pengertian yang terakhir yaitu dalam arti kiasan.[2] para
ahli ilmu “fiqh” sendiri yaitu para
imam masih berbeda pendapat tentang arti kias tersebut apakah dalam pengertian
“wathaa” atau “aqad” sebagaimana yang disebut di atas. Imam Asy-Syafi’i misalnya
memberi pengertian “nikah” itu
dengan “mengadakan perjanjia perikatan”, sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikan
“wathaa” atau “setubuh”. Seperti diketahui, perbedaan para imam ini dianggap
penting oleh karena akan mengakibatkan berbedanya pendapat dalam
masalah-masalah lain yang berkenaan.
Pengertian “nikah” sebagai suatu perjanjian perikatan sesungguhnya adalah
suatu pengertian dalam ruang lingkup undang-undang. Perikatan perkawinan sangat
penting di dalam pergaulan masyarakat,
bahkan hidup bersama ini yang kemudian melahirkan anak keturunan mereka
merupakan sendi yang utama bagi pembentukan Negara dan bangsa.[3]
Menurut Undang-undang sendiri pengertian Perkawinan merupakan ikatan
lahir batin antara seorang pri dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]
BAB III PEMBAHASAN
Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk
selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan
tidak dapat diteruskan.
Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus
dikarenakan tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan
Pengadilan.[5]
Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya
perkawinan diatur dalam Pasal 199,
200-206b, 207-232a dan 233-249.
Pasal 199 menerangkan putusnya
perkawinan disebabkan:
a.
Karena meninggal dunia,
b.
Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang
suami isteri selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu
suami atau isterinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab
delapan belas,
c.
Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan
meja dan tempat tidur dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register
catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian
Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia. Kematian ini tentu mengakibatkan akibat hukum. Kematian
dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak
atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan.
Kematian suami/istri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak
terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah
satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih
kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan.
Dengan
putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewaris dari ahli
waris. Masalah kewarisan merupakan aspek yang sangat penting dalam ajaran agama
islam, banyak mempengaruhi kehidupan seseorang dengan orang lain, seperti yang
terjadi dalam budaya jahiliyah, hukum waris yang dipedomani tidak memenuhi
unsur keadilan, hasilnya juga banyak membawa bencana dan persengketaan dengan
para penerima waris.
Kewarisan
adalah ilmu yang berhubungan dengan harta milik, jika dalam pembagiannya tidak
transparan dan hanya berdasarkan kekuatan hukum yang tidak jelas, maka
dikhawatirkan kemudian hari akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris.[7]
Sementara
harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia
yang menjadi hak ahli waris. Harta itu merupakan sisa atau hasil bersih,
setelah harta yang ditinggalkan itu diambil untuk berbagai kepentingan, seperti
biaya perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.[8]
Penambahan
kalimat “setelah harta yang ditinggalkan
itu diambil untuk berbagai kepentingan” menunjukkan adanya penyempitan
definisi, yang dipergunakan untuk membedakan harta warisan dengan harta
peninggalan. Harta peninggalan
bersifat lebih umum sedangkan harta
warisan lebih khusus karena harta warisan juga dapat disebut dengan harta
benda jika tidak dipotong dengan dengan tiga kepentingan seperti biaya
perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat.
Dalam hal hidupnya waris, para ahli waris yang benar-benar hiduplah di saat
kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan dengan bayi
yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
Tidak ada penghalang kewarisan, dalam hal ini ahli waris tidak mempunyai
halangan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan-ketentuan tentang
penghalang kewarisan yang telah ditentukan..
2. Putusnya Perkawinan karena Perceraian
Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak
dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram
serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama
lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan
batasan mengenai istilah perceraian. Berdasarkan
ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
yang mana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan terdapat
beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian,
yaitu:
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut.tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
d. Salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
e. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak lain;
f. Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.[9]
Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta
perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta perceraian
ditandatangani oleh panitera kepala.
Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi
berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian.
Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi
beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi
mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya dalam Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya
perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak
dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul
biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. [10]
Pasal di atas memberikan pengertian bahwa :
a. Mantan suami atau isteri berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , Pengadilan memberikan keputusan.
b. Mantan suami bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan suami tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa isteri ikut
memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/ atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri.
Kemudian dalam Pasal 209 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan
terjadinya perceraian, yaitu:
a. zinah,
b. meninggalkan
tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
c. penghukuman
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat,
yang diucapkan setelah perkawinan.
d. melukai
berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap isteri
atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau
dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.
Perceraian dapat terjadi karena talak dan gugatan perceraian. Mengenai
Talak telah diatur dalam Pasal 117-122 KHI yang menentukan talak adalah ikrar
suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan.
Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk
diizinkan menjatuhkan talak terhadap istrinya. Cerai talak yang diajukan oleh
suami yang telah, riddah (keluar dari agama Islam), produk putusannya bukan memberikan
izin kepada suami untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan
Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Gugatan hadhanah, nafkah
anak, nafkah istri, mut'ah, nafkah iddah dan harta bersama suami istri, dapat
diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Selama proses pemeriksaan cerai gugat
sebelum sidang pembuktian, suami dapat mengajukan rekonvensi mengenai penguasaan
anak dan harta bersama.
Dalam perkara cerai gugat, istri dalam gugatannya dapat mengajukan
gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan rekonvensi dapat pula
mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan istri atas dasar
alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada gugat
cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah pemutus, atau
atas dasar putusan Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap bahwa
suaminya melakukan tindak pidana zina.
Akhirnya Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.
Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, maka harta diatur menurut
hukumnya masing-masing. Penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan “hukumnya masing-masing”
adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum positif yang lain.
3. Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dapat terjadi, karena
adanya seseorang yang meninggalkan tempat kediamana bersama, sehingga perlu
diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan
keluarga yang ditinggalkan. Perceraian membawa akibat yang luas bagi
perkawinan, bagi suami-isteri, harta kekayaan perkawinan maupun bagi anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Putusnya perkawinan atas putusan pengadilan juga bisa terjadi karena
adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas istri atau para anggota
keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua
calon mempelai. Atas permohonan ini pengadilan memperbolehkan perkawinan yang
telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara’ atau perkawinan
tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang
perkawinan maupun menurut hukum agama.
Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan dapat terjadi apabila
dilakukan di depan Pengadilan Agama, baik itu karena suami yang menjatuhkan
cerai (talak), ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohon hak
talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam agama Islam, perkawinan yang
putus karena perceraian dianggap sah apabila diucapkan seketika oleh suami,
namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya adalah untuk
melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum perceraian
itu.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan
penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama (Undang-undang N0. &
tahun 1989 tentang Peradilan Agama), sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses
dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Negeri.
Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama
maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya
campur-tangan dari Pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan
sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka
perceraian harus melalui saluran lembaga Pengadilan.
Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di
depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang
beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa
perceraian itu harus dilakukan di depan sidang Pengadilan namun karena
ketentuuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka
sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.
Akibat perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Ketika suatu
saat ada perselisihan mengenai hak penguasaan atas anak, maka Pengadilan akan
memberikan keputusannya. Dan harus diterima oleh para pihak. Dalam hal ini
kekuasaan orang tua menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 bersifat tungga. Artinya, walaupun telah terjadi
perceraian, kekuasaan orang tua atas anak yang masih di bawah umur tetap
berjalan, tidak berubah menjadi perwalian seperti pengaturan dalam KUH Perdata
(pasal 298, 299).[11]
Selama berlangsungnya
gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan
suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:
v Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami,
v Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,
v Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri (pasal 24 PP
No. 9 tahun 1975)
Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bawhwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan /
atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya (pasal 41)
Perwalian
tidak timbul setelah terjadinya perceraian, pewalian menurut Undang-undang
Perkawinan ialah bagi anak yang belum mencapai usia genap 18 tahun atau belum
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Mereka yang di bawah kekuasaan orang tua adalah anak sah yang belum genap
berumur 18 tahun.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki nafsu dan akal fikiran. Untuk
mangaktualisasikan berkah dari Tuhan yang berupa nafsu dan fikiran ini manusia
bisa merealisasikannya dengan saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan
saling menjaga satu sama lainnya. Dalam hubungannya antara manusia yang satu
dan manusia yang lain tentu harus ada norma-norma atau nilai-nilai yang harus
dipatuhi. Manusia tidak lantas bebas berbuat apa saja dengan manusia yang lain.
Sebagai contoh, untuk dapat dikatakan atau diakui dalam hubungannya sebagai
suami dan isteri, manusia harus mensahkannya dengan perkawinan. Dan kemudian
mendaftarkan perkawinannya tersebut sehingga perkawinan tersebut memperoleh
kepastian hukum. Baik dari segi agama maupun dari segi hukum.
Namun
suatu saat dalam hubungan keluarga pasti ada saja yang berjalan tidak sesuai
dengan rencana. Perkawinan bisa saja putus di tengah jalan. Dan hal itu
disebabkan oleh para pihak sendiri maupun oleh pihak lain.
Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu :
1.
Kematian.
2.
Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan.
Meskipun
dalam suatu perkawinan kelak akan terjadi banyak masalah, tetapi alangkah lebih
baiknya kalau permasalahan itu masih bisa diselesaikan dengan cara baik-baik,
jangan pernah berfikiran Pemutusan perkawinan adalah jalan satu-satunya.
Kecuali memang perkawinan itu putus disebabkan oleh kematian. Kita tidak bisa
menolaknya. Karena kematian adalah hak prerogatif Tuhan.
BAB V DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005
Abdur
Rahman Al Jazairi. Kitaabu’l Fiqh ala mazahibi’l
Arbaah jilid IV Mochtar, Drs.Kamal.Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan
pertama 1974.
Ibnu’I
Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357; Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi jilid III hlm 189.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke
Wetboek / BW)
Ny. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan, Liberty, Yogyakarta,
Tahun 2004, hal. 103
Soimin, S.H,
Soedaryo.1992.Hukum Orang dan Keluarga.Jakarta:Sinar
Grafika.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
[1]
Lihat Drs.Kamal Mochtar.Asas-asas Hukum
Islam Tentang Perkawinan. Penerbitan Bulan Bintang Jakarta. Cetakan pertama
1974. hlm 11
[2]
Ibid. Lebih lengkap lihat: Ibnu’I Humam Fat-hu’I Qadir jilid II hlm 357;
Fakhru’r. razi. Tafsir Fakhru’r Razi
jilid III hlm 189. Juga lihat Abdur Rahman Al Jazairi. Kitaabu’l
Fiqh ala mazahibi’l Arbaah jilid IV hlm 1
dan seterusnya.
[3] Soedaryo
Soimin ,S.H dalam bukunya Hukum Orang dan
Keluarga mengatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama ini
menentukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan Negara, sebaliknya
rusak dan kacaunya hidup bersama yang bernama keluarga ini akan menimbulkan
rusak dan kacaunya bangunan masyarakat.
[4] Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5]
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[6]
Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
[7] Abdul
Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, UII Press, Yogyakarta, Tahun 2005, hal. 39
[8] Ibid,
hal. 21
[9]
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[10]
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[11] Pasal 298 “Tiap-tiap anak, dalam umur
berapapun juga, berwajib menaruh kehormatan dan kesegaran terhadap bapak dan
ibunya. Si bapak dan si ibu keduanya berwajib memelihara dan mendidik sekalian
anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang
tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi
tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai
pemeliharaan dan pendidikan itu. Terhadap anak-anak yang telah dewasa,
berlakulah ketentuan-ketentuan tercantum dalam bagian ketiga bab ini”
Pasal 299 “Sepanjang perkawinan bapak
dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung di bawah
kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
itu”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !