BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari berbagai
bidang aktivitas yang kita geluti sehari-hari. Termasuk dalam aktifitas politik
baik dalam peran yang kecil atau besar, komunikasi memainkan peranan yang
sangat penting dan dominan bahkan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia
dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding).[1]
Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan
sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya
kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana
kesepakatan tersebut dibuat. Tentu saja komunikasi politik bukanlah sebuah
proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan yang
mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah infrastuktur dan suprastruktur
politik yang saling mempengaruhi, dimana suprastruktur sebagai pembuat
kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa tuntutan dan aspirasi dari
infrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari infrastruktur dan suprastruktur ini dapat
terlaksana dengan baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik
ke arah perkembangan yang lebih baik. Dan mengalami pendewasaan politik dari
pengalaman mengatasi dinamika-dinamika yang pastinya selalu berkembang dalam
kehidupan politik saat ini atau yang akan datang.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah Implementasi Suprastruktur
dan Infrastruktur di Indonesia?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Infrastruktur
Politik
Infrastruktur politik yakni suasana kehidupan politik atau fenomena
kehidupan politik di tingkat masyarakat. Artinya hal-hal yang bersangkutan
dengan kegiatan politik di tingkat masyarakat yang memberikan pengaruh
terhadaptugas-tugas dari lembaga-lembaga Negara dalam suasana pemerintahan.[2]
Infrastruktur politik dibagi menjadi 7 bagian :
Partai Politik adalah suatu wadah atau sarana bagi setiap masyarakat guna
berpartisipasi dalam bidang politik.[4]
2.
Interest
Group (Kelompok Kepentingan)
Adalah kelompok masyarakat yang bergabung untuk kepentingan dan
keuntungan warganya, kelompok ini tepatnya menampung saran, kritik dan tuntutan
kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikan kepada sistem politik
yang ada.
3.
Pressure
Group (Kelompok Penekan)
Kelompok yang melontarkan kritikan-kritikan untuk para pelaku politik
lain. Dengan tujuan membuat dunia perpolitikan menjadi maju. Karena perbaikan
dari kekurangan-kekurangan yang disampaikan oleh para kritikus.
4.
Media
of Political Communication (Media Komunikasi Politik)
Benda mati yang sebagai perantara penyebar dan pemberitaan (singkat kata
alat komunikasi politik). Contoh : tv, radio, internet, surat kabar, demo, dll
5.
Journalism
Group (Kelompok Jurnalis)
Kelompok yang membuat berita dan memberitakan hal-hal baru tentang
politik. Mereka harus mengumpulkan informasi yang sebenar-benarnya dari
sumber-sumber yang tajam dan terpercaya. Karena informasi ini lalu akan
disebarluaskan kepada masyarakat agar masyarakat tahu tentang
perkembangan yang terjadi di dunia politik saat ini.
6.
Student
Group (Kelompok Pelajar)
Kelompok ini biasnya Mahasiswa yang sedang belajar tentang politik di
universitasnya, masing-masing kelompok ini biasanya sering mengkritik tentang
keadaan politik Negara dengan berbagai cara.
7. Political Figure (Figure Politik)
Orang-orang yang lalu-lalang atau yang bekerja didunia politik, dan exist
di kalangan masyarakat, berperan penting dalam mengambil keputusan-keputusan
yangb berpengaruh dalam suatu wilayah.
B.
Suprastruktur Politik
Suprastruktur Politik yakni suasana kehidupan politik atau fenomena
kehidupan politik di tingkat pemerintahan. Artinya hal-hal yang bersangkut
dengan kehidupan lembaga-lembaga Negara yang ada serta hubungan kekuasaannya antara
satu dengan yang lain.[5]
Suprastruktur Politik sering disebut sebagai bangunan atas atau mesin
politik resmi atau lembaga – lembaga pembuat keputusan politik yang sah,
lembaga – lembaga tersebut bertugas mengkonversi input yang terdiri dari
tuntutan, dukungan yang menghasilkan suatu output berupa kebijakan publik.
Di dalam suprastruktur politik ini juga menganut konsep pembagian
kekuasaan. Adalah John Locke,
seorang filsuf dari Inggris (1632-1704) yang pertama-tama membicarakan masalah
pemisahan kekuasaan tersebut,
Ia memisahkan kekuasaan negara dalam 3 bidang [6], yaitu :
1.
Kekuasaan
Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan.
2.
Kekuasaan
Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, dan di
dalamnya termasuk kekuasaan mengadili.
3.
Kekuasaan
Federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga
keamanan Negara dalam hubungan dengan Negara lain, seperti membuat perserikatan
dan alliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar
negeri.[7]
Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam
kekuasaan eksekutif, Montesquieu Montesquieu[8],
membagi lembaga – lembaga kekuasaan tersebut dalam 3 kelompok :
1.
Eksekutif
Kekuasaan Eksekutif yaitu kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan
eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif.[9] Kekuasaan
eksekutif berada di tangan presiden, kalau di Indonesia adalah kepala Negara
dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Presiden
Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden
adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan,
Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri–menteri dalam kabinet,
memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas–tugas pemerintahan
sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa
jabatan.
Dalam perkembangan Negara modern, wewenang badan eksekutif dewasa ini
jauh lebih luas dari pada hanya melaksanakan Undang-undang saja. Kadang malahan
dikatakan bahwa dalam Negara modern badan eksekutif sudah mengganti badan legislatif
sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.[10]
2.
Legislatif
Badan legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang.[11]
Sistem perwakilan di Indonesia saat ini menganut sistem
bicameral. Itu di tandai dengan adanya dua lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan merujuk asas trias politika,
di Indonesia kekuasaan terbagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dalam hal ini, DPR dan DPD merepresentasikan kekuasaan legislatif. Kekuasaan
legislatif terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang
anggota-anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
3.
Yudikatif
Suatu studi mengenai kekuasaan yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis
yuridis dan termasuk bidang ilmu hukum daripada ilmu politik, kecuali di
beberapa negara di mana Mahkamah Agung memainkan peranan politik berdasarkan
konsep “judicial review”.[12]
Pasal 24 UUD 1945 setelah Amandemen ke IV menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggrakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung (MA), Mahkamah Konsitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Insfektif (Badan
Pemeriksa Keuangan).
BAB III
ANALISIS
Implementasi dari infrastruktur
dan suprastruktur politik di Indonesia bisa kita lihat contohnya dalam berbagai
aspek. Tapi kali ini kita akan mencoba membahas mengenai Hasil Musyawarah
Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober 2009.
Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober
2009, akhirnya memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar
2009-2015. Aburizal, yang masih MenkoKesra, telah diduga akan memenangi
pertarungan karena memiliki tiga hal: ”gizi”,
jaringan organisasi pendukung, dan dukungan kekuasaan di luar Partai Golkar
karena dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Alih-alih mengedepankan moral politik dan mendudukkan diri sebagai ”garda penjaga demokrasi” melalui
pilihan politiknya menjadi kekuatan oposisi, Partai Golkar ternyata tak mau dan
tak mampu keluar dari belenggu kekuasaan. Ketika lampu kuning di simpang
mengharuskan partai berlambang pohon beringin ini memutuskan pilihan politiknya
sebagai partai oposisi, justru ia memilih berada di titik tak terbalikkan:
tetap dalam kekuasaan. Ini membikin Partai Golkar sedang mengalami ”senja kala politik” menuju kehancuran.
Bonsai beringin
Intuisi penulis bisa saja salah bila ternyata Partai Golkar punya agenda
tersembunyi di balik keputusan politiknya. Namun, masuknya kader Partai Golkar
dalam jajaran kabinet justru akan membonsai pohon beringin, yang pada Orde Baru
akarnya demikian besar dan kuat menancap rakyat. Para pengurus Partai Golkar
sepatutnya sadar, partai ini bukan lagi ”mitra
penting atau mitra yang kuat” di dalam koalisi besar nasional SBY-Boediono.
Tergiurnya PDI-P ke dalam godaan kekuasaan paling tidak telah menggeser
Partai Golkar sebagai mitra politik Partai Demokrat. Posisi Golkar sebagai
penghamba atau pengemis kekuasaan tak saja menghilangkan posisi tawar
politiknya terhadap Partai Demokrat, melainkan dan terlebih lagi menghilangkan
kebebasannya bermanuver di parlemen.
Senyawa politik Partai Golkar
dan Partai Demokrat sebenarnya telah sirna dalam 5 tahun terakhir. Hubungan itu
semakin tidak simetris saat Partai
Demokrat memenangkan Pemilu Legislatif 2009. Partai Golkar akan terus berada di
bawah bayang kekuasaan Presiden SBY. Itu sebabnya banyak pengamat politik
berharap Golkar dapat keluar dari belenggu kekuasaan dan beralih menjadi partai
oposisi. Hanya dengan posisi oposisi Golkar dapat kasih alternatif terhadap
kebijakan pemerintah. Jika ini dimainkan secara cantik, Partai Golkar akan
melesat dan bangkit kembali menjadi kekuatan utama dalam sistem politik
Indonesia.
Ketidaksiapan atau ketidakberanian Partai Golkar menjadi kekuatan oposisi
ternyata mengalahkan akal sehat. Namun, jika mau dan berani, dapat saja Partai
Golkar bermanuver secara manis jika sadar bahwa di dalam ”koalisi politik yang
amat longgar” pada kabinet mendatang, Golkar juga memberi sumbangsih positif
bagi keseimbangan eksekutif dan legislatif.
Untuk itu, ada beberapa agenda politik yang dapat dilakukan dalam 5
tahun ke depan. Langkah pertama,
Ketua Umum Aburizal Bakrie sepatutnya tak bersedia masuk kembali dalam kabinet
mendatang. Hanya dengan itu ia dapat menjaga jarak dengan kekuasaan dan memberi
arah bagi para kader Partai Golkar di kabinet dan parlemen tentang apa yang
harus mereka perjuangkan untuk rakyat. Hal ini memang sulit dilakukan sebab
Aburizal berutang budi kepada Presiden SBY terkait pengambilalihan tanggung
jawab penanganan kasus lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, dari PT
Lapindo Brantas ke tangan pemerintah.
Kedua, Partai Golkar
benar-benar berani mengimplementasikan hasil kerja Komisi C Bidang Pernyataan
Politik pada munas itu. Hal ini
terkait dengan peran Partai Golkar meminimalkan sentralisasi kekuasaan di
tangan satu orang atau kelompok; mengajak seluruh elemen masyarakat membawa
bangsa ini menuju sistem politik yang terbuka, demokratis, dan efektif;
mendesak pemerintah menyelesaikan kasus Bank Century sampai tuntas secara tegas
dan konsisten; serta mempertahankan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai komisi
yang independen terhadap kekuasaan.
Citra Partai Golkar sebagai partai yang kompak juga harus tetap dijaga.
Karena itu, agenda ketiga yang harus dijalankan ialah bagaimana konsolidasi
kekuatan Partai Golkar benar-benar berjalan dalam jangka pendek ini sebelum
Golkar membuat dan melaksanakan rencana kerja politik untuk lima tahun ke
depan.
Hubungan Partai Golkar dengan para konstituen partai harus berjalan
sembari memperkuat kembali akar politik partai ini ke luar konstituen partai.
Agenda keempat ini harus cepat dilakukan untuk menunjukkan bahwa Partai Golkar
bukan hanya bergerak dinamis menjelang pilkada dan pemilu nasional.
Ikatan politik antara para sesepuh dan kader penerus harus juga tetap
dipererat agar ada proses saling asah, asih, dan asuh di antara mereka. Agenda
kelima ini tak sulit dilakukan jika kedua kubu sadar bahwa partai harus
diselamatkan.
Masyarakat di luar Partai Golkar juga perlu diajak berdialog untuk
membangun rasa saling percaya dan menggalang kerja sama agar sistem demokrasi
konstitusional yang sedang kita bangun tak layu sebelum berkembang. Agenda
keenam ini perlu serius dilaksanakan oleh seluruh jajaran partai.
Agenda politik itu jika serius dilaksanakan dan berkesinambungan mungkin
dapat menyelamatkan Partai Golkar dari situasi senja kala politik yang bukan
mustahil akan menyelimuti partai ini dalam lima tahun ke depan.[1]
Ukurannya raksasa. Batangnya kokoh. Daunnya lebat. Akarnya menjuntai dan
merambah ke mana-mana. Itulah gambaran Ficus benjamina, pohon beringin, lambang
Partai Golongan Karya.
Pada era Orde Baru, Golkar juga tumbuh menjadi partai raksasa. Sejak
Pemilu 1971, dulu disebut Sekber Golkar, menjadi kekuatan politik besar,
menguasai 62,8 persen suara. Pemilu berikutnya Golkar menang berturut-turut, bahkan
tahun 1997 suaranya mencapai 74,5 persen.
Namun, memasuki Orde Reformasi, perolehan suara Golkar terus merosot.
Pemilu 1999 dan 2004 anjlok hingga 22,4 persen dan 21,6 persen. Pemilu 2009
lebih turun lagi tinggal 14 persen. Selain gagal merebut kursi presiden dan
wakil presiden, Golkar bahkan tidak bisa mendapatkan kursi Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat. Kemunduran luar biasa.
Figur pemimpin Golkar ke depan sangat penting. Musyawarah Nasional Ke-8
Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober 2009, merupakan momentumnya. Ada
empat tokoh yang siap maju, yaitu Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Yuddy
Chrisnandi, dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Sulit untuk menebak siapa yang akan memenangi pertarungan di Munas.
Tiap-tiap calon punya kelebihan dan kekurangan. Pergeseran dukungan pun bisa
dinamis. Tim Aburizal jauh-jauh hari sudah mengklaim mengantongi surat dukungan
dari hampir seluruh DPD I dan DPD II. Lalu Mara sebagai juru bicara yakin
Aburizal terpilih aklamasi. Banyak fraksi memang mendukung Aburizal. Mayoritas
DPP Golkar juga memberikan dukungan kepada Aburizal. Informasi berkembang,
pemerintah pun memberikan dukungan. Mantan Ketua Umum Akbar Tandjung, yang
dalam disertasinya menentang Golkar dipimpin seorang saudagar, kali ini justru
mendukung saudagar.
Pesaing terkuat Aburizal adalah Paloh. Tim Paloh diam-diam menggalang
langsung dukungan DPD-DPD II yang merupakan pemberi suara terbesar di Munas.
Menurut Ketua Tim Sukses Jeffrie Geovanie, hampir semua DPD II sudah diajak
makan bersama oleh Paloh di Jakarta secara bergiliran.
Surat dukungan pun telah dibuat berlapis. Pertama, meminta Paloh mencalonkan diri. Kedua, Ketua dan Sekretaris DPD II, sebagai pribadi menyatakan
bersedia mencalonkan dan memilih Paloh. Mereka juga bersedia dipublikasikan. Ketiga, dukungan dari Ketua ataupun
Sekretaris DPD II dan DPD I sebagai institusi yang disertai dukungan pengurus
kecamatan. Para pendukung Paloh juga berangkat bersama-sama ke Pekan Baru dari
Bali. Yang kumpul 405 ketua DPD dengan 5 pesawat.
Namun, Tommy juga tidak bisa diremehkan. Selain muda, Tommy memiliki
karisma karena berasal dari keluarga Cendana. Meski mencalonkan paling akhir,
ia mampu menunjukkan dukungan yang tak sedikit. Hal itu dibuktikan di kegiatan
workshop di Hotel Crown, pekan lalu. Sekitar 170 pengurus DPD hadir. Tommy juga
memiliki dana bahkan mungkin lebih banyak dari Paloh dan Aburizal. Bedanya,
menurut Saurip Kadi, kontrak politik tidak diwujudkan dalam bentuk
transaksional, tetapi berupa penandatanganan proposal program peningkatan ekonomi
rakyat di daerah.
Dari empat kandidat, boleh jadi Yuddy yang paling tidak memiliki banyak
dana, tetapi bukan berarti juga tidak punya peluang. Sebagai kandidat paling
muda, dia justru paling kuat dalam sisi intelektualitas. Peta dukungan semakin
sulit diraba karena para pengurus partai di daerah juga semakin ”cerdas”
menyiasati kandidat.
Menurut pengamatan, dari semua surat yang dikirimkan ke kandidat,
ternyata tidak semuanya sungguh-sungguh. Hal itu tecermin dari kop surat, nomor
surat, tanda tangan, dan kalimat isi surat.
Pembicaraan soal uang pun sudah santer terdengar. Nilainya sampai ratusan
juta rupiah per pengurus. ”Yang penting sekarang ini dijaga jangan sampai
pendukung masuk angin. Balsemnya tidak boleh biasa-biasa. Salah-salah bisa
kembung,” ucap seorang Ketua DPD sambil tersenyum.
Kali ini pangkal polemik adalah pernyataan JK selaku ketua umum Partai
Golkar dalam ajang munas yang menegaskan bahwa kader Golkar sebaiknya
beroposisi dan tidak mengemis jabatan kepada pemerintahanSBY. SBY merasa terganggu,
sekalipun pernyataan itu bukan diucapkan JK selaku Wapres. Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat itu kemarin mengumpulkan wartawan di taman dalam Istana
Kepresidenan untuk memberikan keterangan kepada pers.
SBY menegaskan, dirinya tidak mempermasalahkan sikap Golkar, apakah
beroposisi atau bergabung dengan pemerintahan. ”Dua-duanya (sikap itu) saya
hormati,”kataSBY. Namun, menurut dia, koreksi kepada pemerintah tidak harus
dilakukan dengan beroposisi. ”Dari masyarakat luas, dari NGO, dari mana pun, mengoreksi
pemerintah kalau ada yang tidak benar, ada yang tidak tepat. Meskipun, kalau
pemerintahannya benar, semua pihak bisa diharapkan beri dukungan, semuanya
untuk rakyat,”ujarnya.
SBY juga mengatakan, pemerintahan terdiri atas pusat dan daerah. SBY menantang
Golkar untuk beroposisi kepada semua level pemerintahan jika memang mengambil
sikap berseberangan dengan pemerintah. ”Tentunya harus berani nanti Golkar juga
memberikan kontrol oposisi kepada para gubernur, para bupati, wali kota, yang
juga saya kira sebagian di antara mereka dari Partai Golkar. Jadi, tidak
pilih-pilih. Semuanya untuk kepentingan rakyat,” kata SBY.
SBY menyatakan, dirinya juga menyimak pernyataan JK bahwa Golkar tidak
meminta-minta atau mengemis kepada pemerintah. ”Saya kira tidak perlu di antara
kita berpendapat saling mengemis, saling meminta-minta. Kalau apa yang kita
lakukan demi kebaikan, untuk negara, rakyat, tidak perlu mengatakan saling
meminta, saling mengemis,” kata SBY.
Dirinya hingga kini tetap menghormati Golkar. Dia juga menghormati apa
pun pilihan Golkar setelah pemerintahan saat ini berakhir 20 Oktober mendatang.
BAB IV
SIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan analisis di atas maka dapatlah kita simpulkan bahwa Komunikasi
politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang
memerlukan pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah
infrastuktur dan suprastruktur politik yang saling mempengaruhi, dimana
suprastruktur sebagai pembuat kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa
tuntutan dan aspirasi dari infrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari suprastruktur dan infrastruktur ini dapat
terlaksana dengan baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik
kea rah perkembangan yang lebih baik. Dan mengalami pendewasaan politik dari
pengalaman mengatasi dinamika-dinamika yang pastinya selalu berkembang dalam
kehidupan politik saat ini atau yang akan datang.
BAB V
DAFTAR
PUSTAKA
-
Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta: PT Rajagrafindopersada.
-
Sri Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung.
-
Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu politik. Jakarta: Gramedia.2008.
-
Drs. M. Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman.
-
Carl J. Friedrick (1967:419). Constitutional Government and Democracy:
Theory and Practise in Europe an America.
-
Austin, Ranney. The Governing of Men (New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1996).
-
Undang-undang 1945
[1] Menurut
Prof. Hafied Cangara, M.Sc. dalam bukunya Komunikasi
Politik Terminologi Komunikasi
berasal dari bahasa latin, yakni Communico
yang artinya membagi, dan Communis yang berarti membangun kebersamaan antara dua orang atau
lebih.
[2] Sri
Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung. hlm. 11
[3] Carl J.
Friedrick (1967:419) dalam tulisannya yang berjudul Constitutional Government and Democracy: Theory and Practise in Europe
an America bahwa partai politik adalah “a
group of human beings, stabily organized with the further objective of securing
or maintaining for its leaders the control of a government, with the further
objective of giving to members of party, through such control ideal and
material benefits and advantages”.
[4] Drs. M.
Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar
Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. hlm. 1
[5] Sri
Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung. hlm. 11.
[6] John
Locke Dalam bukunya “Two Treaties on
Civil Government” (1690)
[7] Drs. M.
Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar
Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. hlm. 66
[8] Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” mengembangkan lebih
lanjut pemikiran John Locke. Ia memisahkan kekuasaan ke dalam tiga bidang yang
terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat
perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Teori ini dikenal sebagai Trias Politika.
[9]
Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu
politik. Jakarta: Gramedia.2008. hlm 295.
[10]
Austin, Ranney. The Governing of Men (New
York, Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1996). hlm.456.
[11]
Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu
politik. Jakarta: Gramedia.2008. hlm 315.
[12]
Op Cit. hlm 350.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !