Implementasi Komunikasi Politik dengan sistem politik di Indonesia

Senin, 16 April 2012


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari berbagai bidang aktivitas yang kita geluti sehari-hari. Termasuk dalam aktifitas politik baik dalam peran yang kecil atau besar, komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dan dominan bahkan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding).[1]
Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat. Tentu saja komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah infrastuktur dan suprastruktur politik yang saling mempengaruhi, dimana suprastruktur sebagai pembuat kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa tuntutan dan aspirasi dari infrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari infrastruktur dan suprastruktur ini dapat terlaksana dengan baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik ke arah perkembangan yang lebih baik. Dan mengalami pendewasaan politik dari pengalaman mengatasi dinamika-dinamika yang pastinya selalu berkembang dalam kehidupan politik saat ini atau yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Implementasi Suprastruktur dan Infrastruktur di Indonesia?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infrastruktur Politik
Infrastruktur politik yakni suasana kehidupan politik atau fenomena kehidupan politik di tingkat masyarakat. Artinya hal-hal yang bersangkutan dengan kegiatan politik di tingkat masyarakat yang memberikan pengaruh terhadaptugas-tugas dari lembaga-lembaga Negara dalam suasana pemerintahan.[2]
Infrastruktur politik dibagi menjadi 7 bagian :
1.    Partai Politik (Parpol)[3]
Partai Politik adalah suatu wadah atau sarana bagi setiap masyarakat guna berpartisipasi dalam bidang politik.[4]
2.    Interest Group (Kelompok Kepentingan)
Adalah kelompok masyarakat yang bergabung untuk kepentingan dan keuntungan warganya, kelompok ini tepatnya menampung saran, kritik dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat, serta menyampaikan kepada sistem politik yang ada.
3.    Pressure Group (Kelompok Penekan)
Kelompok yang melontarkan kritikan-kritikan untuk para pelaku politik lain. Dengan tujuan membuat dunia perpolitikan menjadi maju. Karena perbaikan dari kekurangan-kekurangan yang disampaikan oleh para kritikus.
4.    Media of  Political Communication (Media Komunikasi Politik)
Benda mati yang sebagai perantara penyebar dan pemberitaan (singkat kata alat komunikasi politik). Contoh : tv, radio, internet, surat kabar, demo, dll
5.    Journalism Group (Kelompok Jurnalis)
Kelompok yang membuat berita dan memberitakan hal-hal baru tentang politik. Mereka harus mengumpulkan informasi yang sebenar-benarnya dari sumber-sumber yang tajam dan terpercaya. Karena informasi ini lalu akan disebarluaskan kepada masyarakat agar  masyarakat tahu tentang perkembangan yang terjadi di dunia politik saat ini.
6.    Student Group (Kelompok Pelajar)
Kelompok ini biasnya Mahasiswa yang sedang belajar tentang politik di universitasnya, masing-masing kelompok ini biasanya sering mengkritik tentang keadaan politik Negara dengan berbagai cara.
7. Political Figure (Figure Politik)
Orang-orang yang lalu-lalang atau yang bekerja didunia politik, dan exist di kalangan masyarakat, berperan penting dalam mengambil keputusan-keputusan yangb berpengaruh dalam suatu wilayah.

B. Suprastruktur Politik
Suprastruktur Politik yakni suasana kehidupan politik atau fenomena kehidupan politik di tingkat pemerintahan. Artinya hal-hal yang bersangkut dengan kehidupan lembaga-lembaga Negara yang ada serta hubungan kekuasaannya antara satu dengan yang lain.[5]
Suprastruktur Politik sering disebut sebagai bangunan atas atau mesin politik resmi atau lembaga – lembaga pembuat keputusan politik yang sah, lembaga – lembaga tersebut bertugas mengkonversi input yang terdiri dari tuntutan, dukungan yang menghasilkan suatu output berupa kebijakan publik.
Di dalam suprastruktur politik ini juga menganut konsep pembagian kekuasaan. Adalah John Locke, seorang filsuf dari Inggris (1632-1704) yang pertama-tama membicarakan masalah pemisahan kekuasaan tersebut,
Ia memisahkan kekuasaan negara dalam 3 bidang [6], yaitu :
1.      Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-undangan.
2.      Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili.
3.      Kekuasaan Federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan Negara dalam hubungan dengan Negara lain, seperti membuat perserikatan dan alliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.[7]
Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu Montesquieu[8], membagi lembaga – lembaga kekuasaan tersebut dalam 3 kelompok :
1.      Eksekutif
Kekuasaan Eksekutif yaitu kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan eksekutif.[9] Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden, kalau di Indonesia adalah kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan Negara. Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri–menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas–tugas pemerintahan sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
Dalam perkembangan Negara modern, wewenang badan eksekutif dewasa ini jauh lebih luas dari pada hanya melaksanakan Undang-undang saja. Kadang malahan dikatakan bahwa dalam Negara modern badan eksekutif sudah mengganti badan legislatif sebagai pembuat kebijaksanaan yang utama.[10]

2.      Legislatif
Badan legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang.[11]
Sistem perwakilan di Indonesia saat ini menganut sistem bicameral. Itu di tandai dengan adanya dua lembaga perwakilan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dengan merujuk asas trias politika, di Indonesia kekuasaan terbagi menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam hal ini, DPR dan DPD merepresentasikan kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang anggota-anggotanya terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
3.      Yudikatif
Suatu studi mengenai kekuasaan yudikatif sebenarnya lebih bersifat teknis yuridis dan termasuk bidang ilmu hukum daripada ilmu politik, kecuali di beberapa negara di mana Mahkamah Agung memainkan peranan politik berdasarkan konsep “judicial review”.[12]
Pasal 24 UUD 1945 setelah Amandemen ke IV menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggrakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konsitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Insfektif (Badan Pemeriksa Keuangan).





















BAB III
ANALISIS

Implementasi dari  infrastruktur dan suprastruktur politik di Indonesia bisa kita lihat contohnya dalam berbagai aspek. Tapi kali ini kita akan mencoba membahas mengenai Hasil Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober 2009.
Musyawarah Nasional VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober 2009, akhirnya memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2009-2015. Aburizal, yang masih MenkoKesra, telah diduga akan memenangi pertarungan karena memiliki tiga hal: ”gizi”, jaringan organisasi pendukung, dan dukungan kekuasaan di luar Partai Golkar karena dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Alih-alih mengedepankan moral politik dan mendudukkan diri sebagai ”garda penjaga demokrasi” melalui pilihan politiknya menjadi kekuatan oposisi, Partai Golkar ternyata tak mau dan tak mampu keluar dari belenggu kekuasaan. Ketika lampu kuning di simpang mengharuskan partai berlambang pohon beringin ini memutuskan pilihan politiknya sebagai partai oposisi, justru ia memilih berada di titik tak terbalikkan: tetap dalam kekuasaan. Ini membikin Partai Golkar sedang mengalami ”senja kala politik” menuju kehancuran.
Bonsai beringin
Intuisi penulis bisa saja salah bila ternyata Partai Golkar punya agenda tersembunyi di balik keputusan politiknya. Namun, masuknya kader Partai Golkar dalam jajaran kabinet justru akan membonsai pohon beringin, yang pada Orde Baru akarnya demikian besar dan kuat menancap rakyat. Para pengurus Partai Golkar sepatutnya sadar, partai ini bukan lagi ”mitra penting atau mitra yang kuat” di dalam koalisi besar nasional SBY-Boediono.

Tergiurnya PDI-P ke dalam godaan kekuasaan paling tidak telah menggeser Partai Golkar sebagai mitra politik Partai Demokrat. Posisi Golkar sebagai penghamba atau pengemis kekuasaan tak saja menghilangkan posisi tawar politiknya terhadap Partai Demokrat, melainkan dan terlebih lagi menghilangkan kebebasannya bermanuver di parlemen.
Senyawa politik Partai Golkar dan Partai Demokrat sebenarnya telah sirna dalam 5 tahun terakhir. Hubungan itu semakin tidak simetris saat Partai Demokrat memenangkan Pemilu Legislatif 2009. Partai Golkar akan terus berada di bawah bayang kekuasaan Presiden SBY. Itu sebabnya banyak pengamat politik berharap Golkar dapat keluar dari belenggu kekuasaan dan beralih menjadi partai oposisi. Hanya dengan posisi oposisi Golkar dapat kasih alternatif terhadap kebijakan pemerintah. Jika ini dimainkan secara cantik, Partai Golkar akan melesat dan bangkit kembali menjadi kekuatan utama dalam sistem politik Indonesia.
Ketidaksiapan atau ketidakberanian Partai Golkar menjadi kekuatan oposisi ternyata mengalahkan akal sehat. Namun, jika mau dan berani, dapat saja Partai Golkar bermanuver secara manis jika sadar bahwa di dalam ”koalisi politik yang amat longgar” pada kabinet mendatang, Golkar juga memberi sumbangsih positif bagi keseimbangan eksekutif dan legislatif.
Untuk   itu, ada beberapa agenda politik yang dapat dilakukan dalam 5 tahun ke depan. Langkah pertama, Ketua Umum Aburizal Bakrie sepatutnya tak bersedia masuk kembali dalam kabinet mendatang. Hanya dengan itu ia dapat menjaga jarak dengan kekuasaan dan memberi arah bagi para kader Partai Golkar di kabinet dan parlemen tentang apa yang harus mereka perjuangkan untuk rakyat. Hal ini memang sulit dilakukan sebab Aburizal berutang budi kepada Presiden SBY terkait pengambilalihan tanggung jawab penanganan kasus lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, dari PT Lapindo Brantas ke tangan pemerintah.
Kedua, Partai Golkar benar-benar berani mengimplementasikan hasil kerja Komisi C Bidang Pernyataan Politik pada munas itu. Hal ini terkait dengan peran Partai Golkar meminimalkan sentralisasi kekuasaan di tangan satu orang atau kelompok; mengajak seluruh elemen masyarakat membawa bangsa ini menuju sistem politik yang terbuka, demokratis, dan efektif; mendesak pemerintah menyelesaikan kasus Bank Century sampai tuntas secara tegas dan konsisten; serta mempertahankan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai komisi yang independen terhadap kekuasaan.
Citra Partai Golkar sebagai partai yang kompak juga harus tetap dijaga. Karena itu, agenda ketiga yang harus dijalankan ialah bagaimana konsolidasi kekuatan Partai Golkar benar-benar berjalan dalam jangka pendek ini sebelum Golkar membuat dan melaksanakan rencana kerja politik untuk lima tahun ke depan.
Hubungan Partai Golkar dengan para konstituen partai harus berjalan sembari memperkuat kembali akar politik partai ini ke luar konstituen partai. Agenda keempat ini harus cepat dilakukan untuk menunjukkan bahwa Partai Golkar bukan hanya bergerak dinamis menjelang pilkada dan pemilu nasional.
Ikatan politik antara para sesepuh dan kader penerus harus juga tetap dipererat agar ada proses saling asah, asih, dan asuh di antara mereka. Agenda kelima ini tak sulit dilakukan jika kedua kubu sadar bahwa partai harus diselamatkan.
Masyarakat di luar Partai Golkar juga perlu diajak berdialog untuk membangun rasa saling percaya dan menggalang kerja sama agar sistem demokrasi konstitusional yang sedang kita bangun tak layu sebelum berkembang. Agenda keenam ini perlu serius dilaksanakan oleh seluruh jajaran partai.
Agenda politik itu jika serius dilaksanakan dan berkesinambungan mungkin dapat menyelamatkan Partai Golkar dari situasi senja kala politik yang bukan mustahil akan menyelimuti partai ini dalam lima tahun ke depan.[1]
Ukurannya raksasa. Batangnya kokoh. Daunnya lebat. Akarnya menjuntai dan merambah ke mana-mana. Itulah gambaran Ficus benjamina, pohon beringin, lambang Partai Golongan Karya.



Pada era Orde Baru, Golkar juga tumbuh menjadi partai raksasa. Sejak Pemilu 1971, dulu disebut Sekber Golkar, menjadi kekuatan politik besar, menguasai 62,8 persen suara. Pemilu berikutnya Golkar menang berturut-turut, bahkan tahun 1997 suaranya mencapai 74,5 persen.
Namun, memasuki Orde Reformasi, perolehan suara Golkar terus merosot. Pemilu 1999 dan 2004 anjlok hingga 22,4 persen dan 21,6 persen. Pemilu 2009 lebih turun lagi tinggal 14 persen. Selain gagal merebut kursi presiden dan wakil presiden, Golkar bahkan tidak bisa mendapatkan kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Kemunduran luar biasa.
Figur pemimpin Golkar ke depan sangat penting. Musyawarah Nasional Ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 5-8 Oktober 2009, merupakan momentumnya. Ada empat tokoh yang siap maju, yaitu Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Yuddy Chrisnandi, dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Sulit untuk menebak siapa yang akan memenangi pertarungan di Munas. Tiap-tiap calon punya kelebihan dan kekurangan. Pergeseran dukungan pun bisa dinamis. Tim Aburizal jauh-jauh hari sudah mengklaim mengantongi surat dukungan dari hampir seluruh DPD I dan DPD II. Lalu Mara sebagai juru bicara yakin Aburizal terpilih aklamasi. Banyak fraksi memang mendukung Aburizal. Mayoritas DPP Golkar juga memberikan dukungan kepada Aburizal. Informasi berkembang, pemerintah pun memberikan dukungan. Mantan Ketua Umum Akbar Tandjung, yang dalam disertasinya menentang Golkar dipimpin seorang saudagar, kali ini justru mendukung saudagar.
Pesaing terkuat Aburizal adalah Paloh. Tim Paloh diam-diam menggalang langsung dukungan DPD-DPD II yang merupakan pemberi suara terbesar di Munas. Menurut Ketua Tim Sukses Jeffrie Geovanie, hampir semua DPD II sudah diajak makan bersama oleh Paloh di Jakarta secara bergiliran.
Surat dukungan pun telah dibuat berlapis. Pertama, meminta Paloh mencalonkan diri. Kedua, Ketua dan Sekretaris DPD II, sebagai pribadi menyatakan bersedia mencalonkan dan memilih Paloh. Mereka juga bersedia dipublikasikan. Ketiga, dukungan dari Ketua ataupun Sekretaris DPD II dan DPD I sebagai institusi yang disertai dukungan pengurus kecamatan. Para pendukung Paloh juga berangkat bersama-sama ke Pekan Baru dari Bali. Yang kumpul 405 ketua DPD dengan 5 pesawat.
Namun, Tommy juga tidak bisa diremehkan. Selain muda, Tommy memiliki karisma karena berasal dari keluarga Cendana. Meski mencalonkan paling akhir, ia mampu menunjukkan dukungan yang tak sedikit. Hal itu dibuktikan di kegiatan workshop di Hotel Crown, pekan lalu. Sekitar 170 pengurus DPD hadir. Tommy juga memiliki dana bahkan mungkin lebih banyak dari Paloh dan Aburizal. Bedanya, menurut Saurip Kadi, kontrak politik tidak diwujudkan dalam bentuk transaksional, tetapi berupa penandatanganan proposal program peningkatan ekonomi rakyat di daerah.
Dari empat kandidat, boleh jadi Yuddy yang paling tidak memiliki banyak dana, tetapi bukan berarti juga tidak punya peluang. Sebagai kandidat paling muda, dia justru paling kuat dalam sisi intelektualitas. Peta dukungan semakin sulit diraba karena para pengurus partai di daerah juga semakin ”cerdas” menyiasati kandidat.
Menurut pengamatan, dari semua surat yang dikirimkan ke kandidat, ternyata tidak semuanya sungguh-sungguh. Hal itu tecermin dari kop surat, nomor surat, tanda tangan, dan kalimat isi surat.
Pembicaraan soal uang pun sudah santer terdengar. Nilainya sampai ratusan juta rupiah per pengurus. ”Yang penting sekarang ini dijaga jangan sampai pendukung masuk angin. Balsemnya tidak boleh biasa-biasa. Salah-salah bisa kembung,” ucap seorang Ketua DPD sambil tersenyum.
Kali ini pangkal polemik adalah pernyataan JK selaku ketua umum Partai Golkar dalam ajang munas yang menegaskan bahwa kader Golkar sebaiknya beroposisi dan tidak mengemis jabatan kepada pemerintahanSBY. SBY merasa terganggu, sekalipun pernyataan itu bukan diucapkan JK selaku Wapres. Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu kemarin mengumpulkan wartawan di taman dalam Istana Kepresidenan untuk memberikan keterangan kepada pers.
SBY menegaskan, dirinya tidak mempermasalahkan sikap Golkar, apakah beroposisi atau bergabung dengan pemerintahan. ”Dua-duanya (sikap itu) saya hormati,”kataSBY. Namun, menurut dia, koreksi kepada pemerintah tidak harus dilakukan dengan beroposisi. ”Dari masyarakat luas, dari NGO, dari mana pun, mengoreksi pemerintah kalau ada yang tidak benar, ada yang tidak tepat. Meskipun, kalau pemerintahannya benar, semua pihak bisa diharapkan beri dukungan, semuanya untuk rakyat,”ujarnya.
SBY juga mengatakan, pemerintahan terdiri atas pusat dan daerah. SBY menantang Golkar untuk beroposisi kepada semua level pemerintahan jika memang mengambil sikap berseberangan dengan pemerintah. ”Tentunya harus berani nanti Golkar juga memberikan kontrol oposisi kepada para gubernur, para bupati, wali kota, yang juga saya kira sebagian di antara mereka dari Partai Golkar. Jadi, tidak pilih-pilih. Semuanya untuk kepentingan rakyat,” kata SBY.
SBY menyatakan, dirinya juga menyimak pernyataan JK bahwa Golkar tidak meminta-minta atau mengemis kepada pemerintah. ”Saya kira tidak perlu di antara kita berpendapat saling mengemis, saling meminta-minta. Kalau apa yang kita lakukan demi kebaikan, untuk negara, rakyat, tidak perlu mengatakan saling meminta, saling mengemis,” kata SBY.
Dirinya hingga kini tetap menghormati Golkar. Dia juga menghormati apa pun pilihan Golkar setelah pemerintahan saat ini berakhir 20 Oktober mendatang.










BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisis di atas maka dapatlah kita simpulkan bahwa Komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang memerlukan pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah infrastuktur dan suprastruktur politik yang saling mempengaruhi, dimana suprastruktur sebagai pembuat kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa tuntutan dan aspirasi dari infrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari suprastruktur dan infrastruktur ini dapat terlaksana dengan baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik kea rah perkembangan yang lebih baik. Dan mengalami pendewasaan politik dari pengalaman mengatasi dinamika-dinamika yang pastinya selalu berkembang dalam kehidupan politik saat ini atau yang akan datang.











BAB V
DAFTAR PUSTAKA

-          Prof. Dr. Hafied Cangara, M.Sc. 2009. Komunikasi Politik. Jakarta: PT Rajagrafindopersada.
-          Sri Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung.
-          Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu politik. Jakarta: Gramedia.2008.
-          Drs. M. Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
-          Carl J. Friedrick (1967:419). Constitutional Government and Democracy: Theory and Practise in Europe an America.
-          Austin, Ranney. The Governing of Men (New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1996).
-          Undang-undang 1945




[1] Menurut Prof. Hafied Cangara, M.Sc. dalam bukunya Komunikasi Politik Terminologi Komunikasi berasal dari bahasa latin, yakni Communico yang artinya membagi, dan Communis yang berarti membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih.
[2] Sri Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung. hlm. 11
[3] Carl J. Friedrick (1967:419) dalam tulisannya yang berjudul Constitutional Government and Democracy: Theory and Practise in Europe an America bahwa partai politik adalah “a group of human beings, stabily organized with the further objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of party, through such control ideal and material benefits and advantages”.
[4] Drs. M. Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. hlm. 1
[5] Sri Soemantri. 1986. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Alumni Bandung. hlm. 11.
[6] John Locke Dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” (1690)
[7] Drs. M. Soebiantoro, M.Si dkk. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman. hlm. 66
[8] Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” mengembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke. Ia memisahkan kekuasaan ke dalam tiga bidang yang terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Teori ini dikenal sebagai Trias Politika.
[9] Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu politik. Jakarta: Gramedia.2008. hlm 295.
[10] Austin, Ranney. The Governing of Men (New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1996). hlm.456.
[11] Budiardjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu politik. Jakarta: Gramedia.2008. hlm 315.
[12] Op Cit. hlm 350.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger