Menentukan Agama adalah HAM

Senin, 16 April 2012


BAB I   PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukannya. Salah satu bentuk kemajemukannya adalah terdiri dari berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berketuhanan. Hal ini tertuang di dalam sila 1 Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini berarti Negara Indonesia menyatakan keyakinan pada satu Tuhan.
Sebagai Negara yang berkeTuhanan, Negara Indonesia menjamin kebebasan beragama. UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia dalam hal ini menjamin sepenuhnya kebebasan beragama pada setiap warga negaranya. Dua pasal lain yaitu Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa Negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Karena memilih agama merupakan hak pribadi setiap orang (Personal Rights) yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Di Indonesia sendiri terdapat 6 agama yang diakui keberadaannya antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Dan masih banyak lagi aliran kepercayaan.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, tidak jarang juga terjadi konflik. Baik antar agama maupun intern umat beragama dengan munculnya aliran-aliran atau golongan sendiri. Masalah yang sering muncul di setiap agama adalah penyimpangan agama.


BAB II   PERMASALAHAN
Berdasarkan kasus seperti di atas, maka kami selaku penulis akan mencoba menjelaskan dua sub pokok permasalahan, yaitu :

  1. Apakah Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat      dibenarkan untuk Dilarang?
  2. Apakah Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang Menyimpang ?

BAB III   PEMBAHASAN
1.  Apakah Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat dibenarkan untuk Dilarang?

Tanpa mengurangi rasa hormat, kelompok kami sangat menghargai kebebasan beragama namun sepanjang agama tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kaidah norma yang berlaku.
Ini berarti, kelompok kami dalam paper ini adalah termasuk yang KONTRA dan atau TIDAK SETUJU apabila suatu agama secara sepihak dikatakan menyimpang dan dibenarkan untuk DILARANG hanya karena diskriminasi oleh pemerintah atas provokasi kaum agama mayoritas. Hal ini tentu disertai dengan argumen-argumen yang mendasarkan pada hukum yang berlaku. Baik secara Nasional, maupun secara Internasional.
Pertama, berangkat dari pengertiannya  Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia j.o Pasal UU No. tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Salah satu perwujudan Hak Asasi Manusia di antaranya adalah dalam “Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing. Karena di sini Agama merupakan salah satu jenis dari Hak Pribadi (Personal Rights) yang pemenuhan dan pelaksanaannya tidak dapat dikurangi berapapun nilainya.
Kedua, mengenai kebebasan beragama. Telah dituangkan dalam Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas menyatakan negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Begitu juga di dalam aturan hukum yang lain.

v Deklarasi Universal HAM.
Pasal 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain”.
Dipertegas dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri

v KOVENAN INTERNASIONAL HAK SIPIL DAN POLITIK
Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau social, kekayaan, kelahiran atau status lainnya”.
Dipertegas dengan Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat sekalipun tidak boleh ada pembatasan yang mengandung unsur diskriminasi terhadap agama. Dalam hal perlindungan terhadap diskriminasi, Pasal 26 menyebutkan bahwa hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi agama.
Sehingga di sini sudah jelas, jika pada suatu ketika lahir suatu agama atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang itu kemudian Dilarang dengan alasan berbeda pandangan dengan agama mayoritas. Itu merupakan perampasan hak dengan cara tidak langsung. Konsekuensinya harus judicial review konstitusi.

2.    Apakah Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang Menyimpang ?

Menurut kelompok kami, Pemerintah dalam hal ini tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang menyimpang. Yang berhak memilih adalah warga Negara itu sendiri. Karena Negara lewat Undang-undang telah memberikan kebebasan sepenuhnya.
Pasal 29 UUD 1945 telah menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” UUD menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila 1 Pancasila juga menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menunjukkan atas Keyakinan kepada satu Tuhan. Sehingga di sini tidak masalah orang mau beragama apa. Yang terpenting adalah agama tersebut mengakui adanya Tuhan. Bukan Atheis.
Tetapi jika pemerintah memiliki kewenangan, apa yang akan terjadi ? Tentu saja pemerintah dianggap sebagai pihak yang mendiskriminasi kebebasan beragama, khususnya terhadap agama minoritas.
Secara tersirat, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam agama resmi. Yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Permasalahannya terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang yang berada di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dianaktirikan, termasuk kelompok masyarakat adat yang masuk kategori tidak beragama. Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil dalam berbangsa dan bernegara.
Sehingga kini kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan. Cara penyampaiannya beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penghancuran simbol agama, penutupan tempat ibadah, pemboman tempat ibadah, aksi bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama hingga adanya fatwa dari lembaga keagamaan yang justru dianggap memiliki unsur politik dalam arti untuk kepentingan golongan tertentu saja (kaum mayoritas) atau pihak yang memiliki kepentingan.
Secara umum Pemerintah memang menghargai kebebasan beragama, namun pemerintah di samping itu juga menerapkan pembatasan-pembatasan. Yaitu melalui Undang-undang, kebijakan-kebijakan, dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang terkadang Pemerintah mentolerir diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terhadap kelompok penganut agama yang dikatakan menyimpang. Perilaku pemerintah ini semacam pembiaran terhadap aksi anarkis yang kerap terjadi. Pemerintah seakan-akan hanya memprioritaskan untuk menyalahkan kaum agama yang dianggap menyimpang. Tanpa memberikan solusi atas permasalahan.
Kita bisa melihat dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah terhadap kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan satu dengan yang lain. Karenanya, belum sinkronnya aturan hukum di bidang kebebasan beragama harus ditangani optimal.
Sebagai contoh adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan. UU ini pada prinsipnya berisi larangan melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ini berarti bahwa Negara melindungi warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional. Hal ini dapat dikatakan intervensi terhadap kebebasan beragama.
Ketentuan yang menunjukkan intervensi negara terhadap sebagaimana UU No. 1/PNPS/1965 tidak lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat, tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
Namun demikian, yang perlu dipikirkan apakah kondisi tidak adanya pengaturan dari pemerintah akan lebih menjamin kebebasan beragama itu? Atau bukan malah akan berimplikasi lebih parah?
Sebab jika tidak ada aturan yang melandasi, maka ketertiban tidak akan terwujud. Sikap fanatik terhadap agama justru akan membuka peluang munculnya konflik. Oknum tertentu akan dengan mudah membuat aturan yang semata-mata untuk kepentingan ajaran agama masing-masing. Akan terjadi saling menyalahkan agama, dengan menyatakan bahwa agamanya adalah yang paling benar.

Sehingga apa solusinya ?
Pertama, pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sudah menjadi kewenangannya dalam menjamin kebebasan beragama dan memberikan perlindungan bagi para penganut agama dan aliran kepercayaan tersebut.
Kedua, pemerintah harus bersikap tegas bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab, yang mengatasnamakan agamanya paling benar namun berlaku anarkis terhadap para penganut agama yang dianggap menyimpang oleh mereka.
Ketiga, pemerintah harus memiliki unsur keadilan sosial. Dalam artian tidak lebih memprioritaskan kaum mayoritas, tidak melihat secara subjektif tetapi objektif. Sehingga tidak ada lagi pihak yang kuat dan yang lemah. Semua di mata hukum adalah sama.
Keempat, adalah kerukunan antar umat beragama. Tidak ada lagi diskriminasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemeluk agama. Karena Indonesia sendiri bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan).
Kelima, Pemerintah di sini tidak mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi pemerintah harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.

BAB IV KESIMPULAN
Indonesia merupakan salah satu Negara yang terkenal dengan kemajemukannya. Dari mulai suku, ras, budaya, bahasa, termasuk juga agama dan kepercayaan. Dari kemajemukan tersebut tidak jarang terjadi konflik yang menimbulkan perpecahan. Ini tentu tidak mencerminkan persatuan dan kesatuan.
Walaupun terdapat aliran menyimpang, namun masyarakat tidak boleh main hakim sendiri. Karena ini melanggar hak asasi manusia. Kita sebagai masyarakat yang sadar hukum sudah sepatutnya mematuhi hukum yang dibuat oleh Negara. Yaitu dengan tidak main hakim sendiri namun dengan menyerahkan kuasa sepenuhnya  kepada pihak yang berwenang mengurusi permasalahan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah juga harus bertindak preventif untuk mencegah aksi anarkhis oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dengan penyerbuan terhadap kaum minoritas ini.
Konsekuensinya aliran menyimpang ini, akan tertindas di antara masyarakat yang tidak menyukai. Karena telah menyimpangi dari ketentuan suatu agama, walaupun pemerintah melindungi. Aliran ini mungkin tidak dapat dihapuskan, karena berdasarkan keyakinan mungkin mereka merasa benar dan hak mereka untuk memilih, walaupun negara mempunyai kewenangan untuk melarang.
Dalam hal ini seharusnya pemerintah tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik. Negara tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan terhadap agama tertentu.
Negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara.

BAB V PENUTUP
Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan beragama, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat. Agar semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
Mengenai kebebasan beragama, semua harus diserahkan kepada Individu masing-masing. Pemerintah seharusnya sekedar memfasilisitasi dan memberikan jaminan serta perlindungan bagi para pemeluk agama ini. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi sekarang ini, pemerintah seakan-akan melakukan pembiaran terhadap tindakan provokasi dan aksi anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap agama atau aliran tertentu yang mereka anggap menyimpang.
Sudah semestinya, kita bisa bersikap lebih dewasa. Mari, dari perbedaan tersebut kita membuatnya menjadi keunikan tersendiri. Menjadi bahan ajaran untuk menjadi insan yang saling menghargai perbedaan. Apa salahnya kita mencoba. Ini juga untuk kemajuan bangsa Indonesia tercinta ini. Sehingga menjadi tauladan yang baik bagi bangsa-bangsa lain.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger