BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukannya. Salah
satu bentuk kemajemukannya adalah terdiri dari berbagai macam agama dan aliran
kepercayaan. Ini menunjukkan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang
berketuhanan. Hal ini tertuang di dalam sila
1 Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Ini berarti Negara Indonesia menyatakan keyakinan pada satu
Tuhan.
Sebagai Negara yang berkeTuhanan, Negara Indonesia menjamin kebebasan
beragama. UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia dalam
hal ini menjamin sepenuhnya kebebasan beragama pada setiap warga negaranya. Dua
pasal lain yaitu Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tegas
menyatakan bahwa Negara menjamin
kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Karena memilih agama merupakan hak pribadi setiap orang (Personal Rights) yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Di Indonesia sendiri terdapat 6 agama yang diakui keberadaannya antara
lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Dan masih banyak
lagi aliran kepercayaan.
Dengan banyaknya
agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, tidak jarang juga
terjadi konflik. Baik antar agama maupun intern umat beragama dengan munculnya
aliran-aliran atau golongan sendiri. Masalah yang sering muncul di setiap agama
adalah penyimpangan agama.
BAB
II PERMASALAHAN
Berdasarkan
kasus seperti di atas, maka kami selaku penulis akan mencoba menjelaskan dua
sub pokok permasalahan, yaitu :
- Apakah Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat dibenarkan untuk Dilarang?
- Apakah Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang Menyimpang ?
BAB
III PEMBAHASAN
1. Apakah
Aliran Agama Yang Dianggap Menyimpang oleh masyarakat umum dapat dibenarkan
untuk Dilarang?
Tanpa
mengurangi rasa hormat, kelompok kami sangat menghargai kebebasan beragama
namun sepanjang agama tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kaidah norma yang berlaku.
Ini
berarti, kelompok kami dalam paper ini adalah termasuk yang KONTRA dan atau
TIDAK SETUJU apabila suatu agama secara sepihak dikatakan menyimpang dan dibenarkan
untuk DILARANG hanya karena diskriminasi oleh pemerintah atas provokasi kaum agama mayoritas. Hal ini tentu disertai dengan
argumen-argumen yang mendasarkan pada hukum yang berlaku. Baik secara Nasional,
maupun secara Internasional.
Pertama, berangkat dari pengertiannya Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. (pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia j.o Pasal UU No. tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Salah
satu perwujudan Hak Asasi Manusia di antaranya adalah dalam “Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan
menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing”. Karena di sini Agama merupakan salah
satu jenis dari Hak Pribadi (Personal
Rights) yang pemenuhan dan pelaksanaannya tidak dapat dikurangi berapapun
nilainya.
Kedua, mengenai kebebasan beragama. Telah dituangkan dalam Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
tegas menyatakan negara menjamin
kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan
beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Begitu juga di dalam aturan hukum yang lain.
v
Deklarasi
Universal HAM.
Pasal 2 menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas semua hak
dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada
pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain,
asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain”.
Dipertegas dalam Pasal
18 yang menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan
dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri ”
v
KOVENAN
INTERNASIONAL HAK SIPIL DAN POLITIK
Pasal 2 ayat 1 menyatakan
bahwa “Setiap Negara pihak pada Kovenan
ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan
ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah
hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat
lain, asal-usul kebangsaan atau social, kekayaan, kelahiran atau status lainnya”.
Dipertegas dengan Pasal
4 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat sekalipun tidak boleh
ada pembatasan yang mengandung unsur diskriminasi terhadap agama. Dalam hal perlindungan terhadap diskriminasi, Pasal 26 menyebutkan bahwa hukum harus
melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif
bagi semua orang terhadap diskriminasi agama.
Sehingga di sini sudah jelas, jika pada suatu ketika lahir suatu agama
atau aliran kepercayaan yang dianggap menyimpang itu kemudian Dilarang dengan alasan berbeda
pandangan dengan agama mayoritas. Itu merupakan perampasan hak dengan cara
tidak langsung. Konsekuensinya harus judicial
review konstitusi.
2. Apakah
Negara Memiliki Kewenangan Untuk Menentukan Agama Yang Benar dan Agama Yang
Menyimpang ?
Menurut kelompok
kami, Pemerintah dalam hal ini tidak memiliki kewenangan secara mutlak untuk
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang menyimpang. Yang berhak
memilih adalah warga Negara itu sendiri. Karena Negara lewat Undang-undang
telah memberikan kebebasan sepenuhnya.
Pasal 29 UUD 1945
telah menyatakan bahwa ”Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” UUD menyatakan pula
bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Sila 1 Pancasila juga menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menunjukkan atas Keyakinan kepada satu Tuhan. Sehingga di sini tidak masalah
orang mau beragama apa. Yang terpenting adalah agama tersebut mengakui adanya
Tuhan. Bukan Atheis.
Tetapi jika pemerintah
memiliki kewenangan, apa yang akan terjadi ? Tentu saja pemerintah dianggap
sebagai pihak yang mendiskriminasi kebebasan beragama, khususnya terhadap agama
minoritas.
Secara tersirat,
diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam agama
resmi. Yaitu Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Permasalahannya terjadi ketika seseorang atau
sekelompok orang yang berada di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dianaktirikan, termasuk kelompok masyarakat
adat yang masuk kategori tidak beragama. Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang
label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan
publik dan hak-hak sipil dalam berbangsa dan bernegara.
Sehingga kini kasus
pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan. Cara penyampaiannya
beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat kelompok tertentu,
penghancuran simbol agama, penutupan tempat ibadah, pemboman tempat ibadah, aksi
bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan
mengikuti aliran agama utama hingga adanya fatwa dari lembaga keagamaan yang
justru dianggap memiliki unsur politik dalam
arti untuk kepentingan golongan tertentu saja (kaum mayoritas) atau pihak yang
memiliki kepentingan.
Secara umum
Pemerintah memang menghargai kebebasan beragama, namun pemerintah di samping itu
juga menerapkan pembatasan-pembatasan. Yaitu melalui Undang-undang,
kebijakan-kebijakan, dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang terkadang Pemerintah
mentolerir diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu
terhadap kelompok penganut agama yang dikatakan menyimpang. Perilaku pemerintah
ini semacam pembiaran terhadap aksi anarkis yang kerap terjadi. Pemerintah
seakan-akan hanya memprioritaskan untuk menyalahkan kaum agama yang dianggap
menyimpang. Tanpa memberikan solusi atas permasalahan.
Kita bisa melihat
dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang bermasalah terhadap
kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan
dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan satu dengan yang
lain. Karenanya, belum sinkronnya aturan hukum di bidang kebebasan beragama harus
ditangani optimal.
Sebagai contoh adalah UU
No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan. UU ini pada
prinsipnya berisi larangan melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ini berarti bahwa Negara melindungi
warga negara Indonesia melalui perlindungan atas penyalahgunaan dan penodaan
agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak
membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional. Hal ini dapat dikatakan
intervensi terhadap kebebasan beragama.
Ketentuan yang
menunjukkan intervensi negara terhadap sebagaimana UU No. 1/PNPS/1965 tidak
lagi diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan adalah hak yang melekat,
tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut dirampas.
Namun demikian, yang
perlu dipikirkan apakah kondisi tidak adanya pengaturan dari pemerintah akan
lebih menjamin kebebasan beragama itu? Atau bukan malah akan berimplikasi lebih
parah?
Sebab jika tidak ada
aturan yang melandasi, maka ketertiban tidak akan terwujud. Sikap fanatik terhadap
agama justru akan membuka peluang munculnya konflik. Oknum tertentu akan dengan
mudah membuat aturan yang semata-mata untuk kepentingan ajaran agama
masing-masing. Akan terjadi saling menyalahkan agama, dengan menyatakan bahwa
agamanya adalah yang paling benar.
Sehingga apa solusinya
?
Pertama,
pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sudah menjadi kewenangannya dalam
menjamin kebebasan beragama dan memberikan perlindungan bagi para penganut
agama dan aliran kepercayaan tersebut.
Kedua,
pemerintah harus bersikap tegas bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab,
yang mengatasnamakan agamanya paling benar namun berlaku anarkis terhadap para
penganut agama yang dianggap menyimpang oleh mereka.
Ketiga,
pemerintah harus memiliki unsur keadilan sosial. Dalam artian tidak lebih
memprioritaskan kaum mayoritas, tidak melihat secara subjektif tetapi objektif.
Sehingga tidak ada lagi pihak yang kuat dan yang lemah. Semua di mata hukum
adalah sama.
Keempat,
adalah kerukunan antar umat beragama. Tidak ada lagi diskriminasi kelompok
tertentu berdasar besar atau kecilnya pemeluk agama. Karena Indonesia sendiri
bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara
sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan).
Kelima,
Pemerintah di sini tidak mewajibkan berlakunya hukum agama tertentu, tetapi
pemerintah harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika
warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya
sendiri.
BAB
IV KESIMPULAN
Indonesia merupakan
salah satu Negara yang terkenal dengan kemajemukannya. Dari mulai suku, ras,
budaya, bahasa, termasuk juga agama dan kepercayaan. Dari kemajemukan tersebut
tidak jarang terjadi konflik yang menimbulkan perpecahan. Ini tentu tidak
mencerminkan persatuan dan kesatuan.
Walaupun terdapat aliran menyimpang, namun masyarakat tidak boleh main
hakim sendiri. Karena ini melanggar hak asasi manusia. Kita sebagai masyarakat
yang sadar hukum sudah sepatutnya mematuhi hukum yang dibuat oleh Negara. Yaitu
dengan tidak main hakim sendiri namun dengan menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada pihak yang berwenang mengurusi
permasalahan tersebut. Dalam hal ini Pemerintah juga harus bertindak preventif untuk mencegah aksi anarkhis
oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dengan penyerbuan
terhadap kaum minoritas ini.
Konsekuensinya aliran menyimpang ini, akan tertindas di antara masyarakat
yang tidak menyukai. Karena telah menyimpangi dari ketentuan suatu agama,
walaupun pemerintah melindungi. Aliran
ini mungkin tidak dapat dihapuskan, karena berdasarkan keyakinan mungkin mereka
merasa benar dan hak mereka untuk memilih, walaupun negara mempunyai kewenangan
untuk melarang.
Dalam hal ini
seharusnya pemerintah tidak mencampuri urusan keyakinan warga negaranya.
Kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama membuat para penganut agama
lain tidak mendapatkan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Artinya, negara tidak perlu ikut campur mengatur
kehidupan beragama sebab negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak
baik. Negara
tidak berhak mencampuri urusan agama, apalagi mencoba memberikan pengakuan
terhadap agama tertentu.
Negara harus bersikap
netral terhadap semua agama dan tak boleh melarang timbulnya suatu aliran
kepercayaan atau agama apapun. Kalau ada suatu kelompok yang misalnya ingin
mendirikan agama sendiri, itu tidak bisa dilarang oleh negara.
BAB V
PENUTUP
Indonesia adalah negara
yang tidak perlu lagi diragukan menerima dan mengakui kebebasan beragama,
bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan mengikat. Agar
semangat dalam konstitusi itu tetap terjaga, pengaturan negara dalam hal kehidupan beragama tetap
diperlukan. Hanya saja, dalam membuat aturan hukum termasuk
aturan soal agama, perlu konsisten mengacu pada Pancasila yang telah
menggariskan empat kaidah penuntun hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak
terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di
Indonesia. Kaidah-kaidah penuntun itu antara lain:
Mengenai kebebasan
beragama, semua harus diserahkan kepada Individu masing-masing. Pemerintah
seharusnya sekedar memfasilisitasi dan memberikan jaminan serta perlindungan
bagi para pemeluk agama ini. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi sekarang ini,
pemerintah seakan-akan melakukan pembiaran terhadap tindakan provokasi dan aksi anarkis yang
dilakukan oleh sekelompok orang terhadap agama atau aliran tertentu yang mereka
anggap menyimpang.
Sudah semestinya,
kita bisa bersikap lebih dewasa. Mari, dari perbedaan tersebut kita membuatnya
menjadi keunikan tersendiri. Menjadi bahan ajaran untuk menjadi insan yang
saling menghargai perbedaan. Apa salahnya kita mencoba. Ini juga untuk kemajuan
bangsa Indonesia tercinta ini. Sehingga menjadi tauladan yang baik bagi
bangsa-bangsa lain.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !