ANALISIS dan KOMENTAR tentang kasus "Malpraktek"

Rabu, 09 Mei 2012



Malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi medis saja, tetapi juga ditujukan kepada profesi lainnya. Jika ditujukan pada profesi medis, seharusnya juga disebut sebagai “malpraktek medis

A.      Dilihat dari Aspek Unsur-Unsurnya
Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum yang menyatakan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dari pasal tersebut kemudian berkembang aliran luas yang menyatakan bahwa ada 4 unsur “Perbuatan Melawan Hukum” yaitu:
1.    Bertentangan (melanggar) hak orang lain
2.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan dalam mempertahankan kepentingan diri atau harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Ad. 1   Malpraktek bertentangan (melanggar) Hak Subjektif Orang lain
            Perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUHPerdata. Pasalnya, para tergugat dinilai melakukan Malpraktek yang karena kesalahannya menyebabkan pasiennya menderita kelumpuhan, kebutaan dan pendengarannya terganggu setelah menjalani operasi RS. Hal itu juga melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP.

Ad. 2   Malpraktek bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
Perbuatan tersebut dinilai melanggar hak konsumen. Tindakan para tergugat dinilai bertentangan dengan Pasal 4 huruf (a) UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang menentukan bahwa, konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal 4 huruf (g) juga mengatur, hak konsumen untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Selain itu juga melanggar ketentuan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Ad. 3   Malpraktek bertentangan dengan kesusilaan
Perbuatan tersebut dinilai melanggar kesusilaan. Karena menurut saya yang dimaksud kesusilaan di sini adalah segala sesuatu yang tadinya tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi suatu saat dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu. Seperti yang dialami oleh pasien yang menderita kelumpuhan, kebutaan dan pendengarannya terganggu setelah menjalani operasi hernia di RS. Dan kebutaan, bisu, tuli dan kelumpuhan yang diderita pasien tersebut termasuk yang tidak bisa dinilai dengan uang. Tetapi kemudian dapat dimintakan ganti rugi. Kalau saja kebutaan, bisu, tuli dan kelumpuhan sejak awal bisa dinilai dengan uang maka akan banyak orang/dokter yang mengabaikan keselamatan orang lain/pasien, toh kita cukup bayar ganti rugi kemudian perkara selesai. Atau bahkan mungkin yang lebih ekstrim banyak orang yang akan  mengorbankan panca indera mereka hanya demi uang. Dengan alasan kesulitan ekonomi.

Ad. 4   Malpraktek bertentangan dengan dengan kepatutan dalam mempertahankan kepentingan diri atau harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.
Yang dimaksud di sini adalah perilaku yang melanggar kepatutan dalam pergaulan hidup dalam memperhatikan kepentingan terhadap diri atau harta orang lain. Hal ini berarti bahwa dalam mengejar dan menyelenggarakan kepentingannya, seseorang tidak boleh bersikap masa bodoh terhadap kemungkinan timbulnya kerugian sebagai akibat perilakunya. Namun hal itu tidak berarti bahwa dalam setiap langkah kita harus menghindari kemungkinan untuk merugikan orang lain. Hal ini juga Nampak pada kasus malpraktek di atas. Seorang dokter seharusnya sudah tahu bahwa perbuatannya pasti akan membawa dampak bagi pasiennya, sehingga secara patut Dokter harus memeriksa setiap detailnya, tanpa terkecuali. Meskipun Dokter hanya manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan, tapi sudah seharusnya dokter lebih berhati-hati dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasiennya.
Menurut saya, malpraktek adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motifnya (mens rae, guilty mind). Sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Seperti dalam kasus malpraktek di atas, Dokter bisa saja tidak menginginkan pasiennya cacat, tetapi bisa juga Dokter tersebut sebenarnya tidak memenuhi kualitasnya sebagai seorang Dokter karena mungkin melakukan pemalsuan terhadap surat tugas atau surat ijin prakteknya.


B.       Dilihat dari Aspek Ganti Rugi
Kasus di atas (malpraktik) yang digugat ganti rugi adalah RS bukanlah dokter yang memeriksa pasien.
Ketika kuasa hukum keluarga korban mengatakan, dirinya terpaksa mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, dengan total ganti rugi senilai Rp 100 milyar. Kuasa hukum pihak keluarga merasa tersinggung dengan angka yang ditawarkan pihak rumah sakit, apalagi mereka tidak pernah membesuk Pasien. Untuk itu, guna memberikan pendidikan hukum kepada publik pihak keluarga melalui kuasa hukumnya menggugat RS atas dasar “Perbuatan Melawan Hukum” dengan tuntutan ganti rugi senilai Rp 100 milyar. Selain itu dijelaskan pula bahwa kebutaan, bisu, tuli dan kelumpuhan yang diderita pasien tidak bisa dinilai dengan uang.
Sementara itu, di tempat terpisah, pihak RS melalui kuasa hukumnya, membantah tuduhan kuasa hukum keluarga korban jika selama ini pihaknya tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Menurut kuasa hukum RS, pihak RS menyatakan bahwa sudah melakukan pendekatan secara persuasif serta menawarkan santunan 4 atau 6 kali lipat biaya yang dikeluarkan keluarga pasien sebesar Rp 13 juta dan memberikan fisioterapi secara gratis. Jika yang diminta sebesar Rp 100 milyar, itu angka yang fantastis dan ilusioner atau tidak masuk akal. Artinya, RS awalnya sudah menawarkan bargaining sebesar Rp 60 juta-an. Meskipun begitu, pihak RS akan siap melayani gugatan kuasa hukum pasien dan tidak khawatir meski pihak rumah sakit belum menerima salinan gugatan.
Prinsip yang dianut dalam hukum perdata sebagai hukum privat adalah barang siapa yang menimbulkan kerugian kepada orang lain maka ia harus membayar ganti rugi. Dan di dalam penyelesaian sengketa biasanya tuntutan pasien berupa sejumlah ganti rugi atas kelalaian atau kesalahan dari dokter. Sehingga kasus malpraktek di atas sudah memenuhi aspek ganti rugi.

C.      Dilihat dari Aspek Pertanggungjawaban
Pasien menderita kelumpuhan, kebutaan dan pendengarannya terganggu setelah menjalani operasi hernia di RS. Hal itu tentu muncul pertanyaan siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita.
Ada 3 model tanggung jawab hukum yaitu sebagai berikut:
1.    Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata.
2.    Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata.
3.    Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana diatur dalam pasal 1367 KUHPerdata.


Berdasarkan 3 model tanggung jawab di atas, maka kasus yang terjadi (malpraktek) dapat dikenakan model 1 (pertama). Alasannya karena dalam suatu proses pemeriksaan dokter kepada pasien sudah barang tentu melakukan sesuatu atas dasar kesengajaan. Hanya saja ada kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter kepada pasien.
Tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi seorang dokter masih dapat dibedakan antara tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan professional, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.434/Men.Kes/SK/X/1993 dan tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang meliputi bidang hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata.

D.      Dilihat dari Eksonerasi Klausul
Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam Perjanjian terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Dalam Perjanjian terapeutik (dalam bentuk inspanningverbintenis) yang objek perjanjiannya berupa upaya dokter yeng belum pasti hasilnya, gugatan adanya perbuatan melawan hukum oleh pasien terhadap dokter harus dapat dibuktikan tentang adanya kerugian yang disebabkan dari tidak dipenuhinya kewajiban dalam Perjanjian terapeutik sesuai dengan SPM (Standar Profesi Medis).
Pembuktian oleh pasien pada umumnya akan mengalami kesulitan karena kurangnya informasi yang dapat diperoleh pasien tentang tindakan medis yang telah dilakukan oleh dokter dalam pelaksanaan kewajiban Perjanjian terapeutik.
Adapun isi daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a.    Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
c.    Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d.   Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger