Diawali dari mangkatnya Raden Mas Rangsang yang
bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman atau yang masyhur
disebut dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1645, tepat enam tahun
setelah berhasil menaklukan Blambangan tahun 1939. Sultan Agung telah berhasil
melakukan ekspansi ke deluruh daerah di Jawa dan Madura (kecuali Banten dan
Batavia) dan beberapa daerah luar Pulau Jawa, seperti ; Palembang, Jambi dan
Banjarmasin. Mangkatnya Sultan Agung membuat sang putra mahkota Pangeran Arum didaulat
untuk memimpin Mataram, dengan gelar Sunan Amangkurat I.
Suatu hari Sunan Amangkurat I dan wadya balanya memasuki suatu wilayah,
dimana ia dan rombongannya dihadapkan pada suatu kejadian yang amat serius dan
sangat membingungkan. Hal ini terjadi setelah rombongan masuk sebuah desa
bernama “DAHA”. Tanpa sebab musabab
yang jelas, mendadak kuda penarik kereta kencana yang tidak lama telah melewati
masa kritis, tiba-tiba terkulai lemas dan mati.
Bukan
main sedihnya hati Gusti Sunan, terlebih Kyai Pancurawis yang merasa telah
menyatu dengan kuda tersebut. Beberapa prajuritnya juga hilang tak berbekas
seperti lenyap ditelan bumi. Dengan penuh rasa haru, dikuburkannyalah kuda itu
di suatu tempat yang sekarang bernama KARANGJATI.
Agak lama Gusti Sunan dan rombongan berada di tempat tersebut. Ia telah
mengalami beberapa peristiwa yang mengguncangkan hatinya. Ia sadar, jika ia
telah lalai dalam menjalankan amanat sebagai Sultan Mataram sesuai dengan pesan
dan petuah ayahanda dan kerabat keluarga kasultanan Mataram. Ia tidak memiliki
siapa-siapa lagi selain Allah SWT dan prajurit-prajurit yang masih setia
kepadanya.
Begitu
mendalam pula kesedihan yang dialami Kyai Pancurawis, yang kemudian ia meminta
izin kepada Sunan Amangkurat I untuk diperkenankan tetap tinggal di Karangjati
mengurus kuburan kuda kesayangannya sampai ajal menjemputnya. Walhasil dengan
tidak ikut sertanya Kyai Pancurawis menemaninya melanjutkan perjalanan, maka
Gusti Sunan pun menjadi tidak memiliki semangat. Satu-satunya harapan yang
sekarang ia miliki hanyalah bertemu dengan seseorang yang dapat mengobati
kegundahan hatinya dan meluruskan langkah kehidupannya. Sesaat ia memandang
sekeliling, tampak di pelupuk matanya Gunung Slamet yang menjulang tinggi ke
angkasa, didampingi pebukitan yang setia menemani keperkasaannya. Sementara
lerengnya, terhampar area pesawahan yang merupakan panorama keindahan alam
sangat luar biasa. Sebuah wilayah yang masih dalam kekuasaan pemerintahannya di
Mataram dengan masyarakat yang ramah dan religius, begitu pikirnya. Decak
kagumnya, mengundang hasratnya untuk memberikan nama wilayah ini dengan nama BUMIAYU.
Di
Bumiayu inilah Sunan Amangkurat kemudian bertemu dengan sosok wanita jelita
yang memikat hatinya. Ia berusaha menghampiri wanita itu, namun semakin cepat
ia berusaha meraihnya semakin cepat pula wanita itu lenyap dari pandangan
matanya. Sampailah Gusti Sunan di sebuah tempat dimana ia melihat wanita itu
masuk dan hilang tak berbekas. Betapa terkejutnya Gusti Sunan, ketika secara
tiba-tiba muncul suara tanpa rupa yang menasehatinya supaya selalu mendekatkan
diri kepada Tuhan dan untuk memperolehnya ia harus terus berjalan ke utara
bukan ke barat. Di bawah pohon beringin besar ia tertunduk lesu sembari
menyadari kealpaannya selama ini. Tempat tersebut kini bernama Dukuh Kramat
(yang berarti Kramat ; Wingit atau angker) dan terdapat CANDI
KRAMAT yang dipercaya masyarakat setempat dihuni oleh Nyai Rantansari.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !