Kode Akun Pajak
Selasa, 27 Desember 2016
Tanah Diam Bertuankan Penindasan
Sabtu, 05 Juli 2014
Kesedihan melanda impian dan hidup mereka,
mencuap dalam hati sanubari.
Sepertinya hidup sudah tak lagi bermakna,
ruang hidup terusik industri, persaudaraan pun renggang
yang ada hasrat demi dunia, harta, dan kekuasaan.
Rakyat menangis, petani menangis dunia tertawa
Prihatin akan konflik yang menghempaskan,
namun petani siap dan tetap berjuang.
Dengan jeritan dan berlinang airmata,
mereka terkapar di atas tanahnya sendiri.
mencuap dalam hati sanubari.
Sepertinya hidup sudah tak lagi bermakna,
ruang hidup terusik industri, persaudaraan pun renggang
yang ada hasrat demi dunia, harta, dan kekuasaan.
Rakyat menangis, petani menangis dunia tertawa
Prihatin akan konflik yang menghempaskan,
namun petani siap dan tetap berjuang.
Dengan jeritan dan berlinang airmata,
mereka terkapar di atas tanahnya sendiri.
Hak Guna Usaha Pemicu Konflik Tanah Di Banyumas
Apa yang kalian ingat ketika
mendengar istilah mendoan, Baturraden
atau tokoh wayang yang namanya Ki Semar? Ya, semuanya itu mengingatkan kita pada
suatu daerah yang bernama Banyumas. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja bahan
cerita yang bisa menggambarkan keberadaan Banyumas. Dan kita disini bukan
hendak membahas mendoan, Baturraden
ataupun Ki Semar, tetapi hal yang riil terjadi di masyarakat, hal yang mungkin
belum kita sadari bahkan mungkin kita tidak percaya bahwa itu benar terjadi di
masyarakat, yakni tentang konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas
yang berdampak pada matinya mata pencaharian kaum petani pribumi.
Berbicara tentang Banyumas, kini
kita bisa tahu hanya dengan browsing di
internet dengan meng-klik website
Wikipedia.org. Hasilnya, disitu nampak bahwa sebenarnya Banyumas merupakan nama sebuah kecamatan sekaligus kabupaten
yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27
kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan, dengan
luas wilayah sekitar 1.327.759, 56 ha. Dari luasan wilayah tersebut, masing-masing
kecamatan tersebut memiliki tanah pertanian yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Namun, dalam kenyataannya, tanah-tanah pertanian tersebut tidak
diolah sesuai dengan peruntukkannya. Bahkan hal ini berujung pada sengketa
bahkan konflik yang tak kunjung terselesaikan.
Berdasarkan data dalam
rekapitulasi kasus pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten (BPN) Banyumas,
untuk tahun 2013 terdapat kasus pertanahan sebanyak 27 kasus. Terdiri dari 16
kasus tergolong sengketa, 10 kasus tergolong perkara dan 1 kasus tergolong
konflik. Yang kesemuanya itu menurut pihak dari BPN Banyumas telah teratasi
dengan baik. Sedangkan di tahun 2014 sendiri hingga tanggal 28 Februari 2014,
baru masuk 6 permohonan pengaduan dari masyarakat kepada BPN Banyumas.
Berdasarkan data tersebut
nampak bahwa ternyata di Banyumas juga banyak terdapat kasus di bidang pertanahan. Dan yang menarik,
disini hanya ada satu kasus yang tergolong konflik. Berdasarkan data yang
terdaftar di BPN Banyumas, konflik yang dimaksud yaitu konflik antara masyarakat
Desa Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah
perusahaan yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV
Semarang. Dimana pemicu konflik sebenarnya adalah sertipikat Hak Guna Usaha (HGU)
yang dimiliki PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Sertipikat inilah yang kemudian
memicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang BPN Banyumas dan pihak perusahaan,
kronologi kasusnya diawali dari adanya penyerobotan lahan bersertipikat Hak
Guna Usaha, namun menurut sudut pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik
mereka sejak nenek moyang. Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut berakhir, tidak diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan
kepada masyarakat.
Jika berbicara sejarah, sebagaimana
pernah ditulis oleh Elsam, sebuah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, bahwa penguasaan
lahan oleh yayasan yang dibentuk militer yaitu berawal di masa pemerintahan
Orde Baru. Masa ini adalah masa kelam bagi para petani pribumi. Bagaimana
tidak? Pada waktu itu militer mengambil-alih lahan yang dikuasai oleh
orang-orang yang dituduh pro komunis (PKI). Siapapun yang mengolah lahan
dianggap pro komunis (PKI). Maka dari itu, tak sedikit masyarakat yang merasa
takut karenanya dan lebih memilih menyerahkan lahan mereka. Inilah awal
penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk oleh militer, yang hingga kini
terus dipertahankan. Masuknya militer sebagai penguasa baru atas lahan inilah
yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria hingga kini. Lalu
pasca rezim Soeharto, atau awal reformasi, tahun 1999, lahirlah
perlawanan-perlawanan kaum petani dan masyarakat untuk merebut kembali (reclaiming) tanah-tanah yang dirampas
pengusaha, penguasa, birokrat, maupun militer dengan baju Hak Guna Usaha. Kalau
di Banyumas sendiri ada Paguyuban Petani Banyumas (PPB), STAN AMPERA (Serikat
Petani Amanah Penderitaan Rakyat) dan lain sebagainya.
Usaha reklaim tersebut
terjadi sebagai akibat dari kebijakan agraria yang dianggap tidak berpihak
kepada rakyat khususnya para petani. Ironisnya, respon pemerintah dalam
menghadapi perlawanan para petani justru mengedepankan kekerasan. Pola
kekerasan yang dilakukan meliputi pembumihangusan wilayah perkampungan petani,
penculikan, pembunuhan, penembakan, penyiksaan, dan kriminalisasi. Penyiksaan
terhadap petani dilakukan oleh preman dan militer yang “disewa” pengusaha.
Dalam perspektif hak asasi manusia, kekerasan yang dilakukan dalam bentuk
penyiksaan terhadap petani merupakan bukti bahwa pemerintah tidak berkeinginan
menuntaskan persoalan agraria, bahkan membungkam perjuangan petani yang hendak
mencari keadilan. Konflik di Desa Darmakradenan inilah yang menjadi bukti riil bahwa
peristiwa semacam ini pernah terjadi dan hingga kini belum ada titik temu
penyelesaian permasalahan.
Selama perjuangannya, para
petani Darmakradenan telah banyak menikmati berbagai macam kekerasan, baik
secara fisik maupun psikis dari orang-orang yang mengaku aparat. Salah seorang
warga Darmakradenan yang saat itu sempat terkena pukulan menceritakan, “Kejadian
itu terjadi sekitar pukul setengah lima sore, dengan memberikan aba-aba, ada letusan
senapan selama beberapa kali. Pada waktu itu banyak yang terkena luka. Termasuk
saya sendiri terkena pukulan POLRI sampai beberapa kali. Kami dikejar bahkan
sampai di luar perkebunan. Dari warga tadinya mau dituntut, tapi dari Tim 11
setuju hanya dengan pengobatan dan permintaan maaf,” ungkap Zaenal yang juga selaku
Sekretaris STAN AMPERA.
Pasca kejadian itu, warga
yang pada saat itu terkena dampak kekerasan merasa trauma atas kejadian
tersebut, termasuk Zaenal. Bahkan hal ini sempat menyebabkan ia tak ingin lagi
berjuang. Ia pasrah. Namun tak butuh waktu lama, ia bangkit dari traumanya dan
membulatkan tekadnya untuk berjuang kembali dengan rekannya sesama petani,
sesama warga Darmakradenan untuk memperjuangkan tanah leluhurnya.
Terhadap obyek yang menjadi
konflik, pernah diadakan penyelesaian secara mediasi oleh BPN, Pemkab dan DPRD
Kab. Banyumas pada tahun 1999, akan tetapi dalam mediasi tidak dapat dicapai
kesepakatan antara kedua belah pihak. Perjuangan pun berlanjut melalui jalur
hukum ke pengadilan. Sayangnya, hingga tingkat banding alhasil tetap dimenangkan
oleh pihak PT. RSA. Atas hasil banding yang tidak memihak, masyarakat Darmakradenan
sebenarnya sempat ingin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun di tengah
jalan hal itu tak kunjung terealisasikan. Karena masyarakat beranggapan bahwa jika
melalui hukum mereka pasti akan kalah.
“Kalau kita berbicara
masalah hukum pasti kita tetap kalah. Kalau kita berbicara tentang hukum, yang
mana sih masyarakat dijamin oleh hukum ini? Dimana masyarakat ini terjamin dalam
berbicara hukum? Ga ada loh Mas. Hukum itu untuk melindungi
orang-orang yang punya kekuasaan, orang-orang yang punya duit. Kesannya
undang-undang itu baik, tapi realistasnya apa? Kalau kita berbicara ‘pisau’
pasti tajamnya ke bawah,” ujar Darsum selaku Wakil Ketua STAN AMPERA.
Konsekuensi hukum dengan
tidak diajukannya kasasi, maka sejak 30 Maret 2004 atas perkara ini sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Atas dasar inilah kemudian masyarakat
tidak lagi percaya pada hukum. Dan lebih memilih melalui jalur politik petani,
yakni reclaiming lahan.
Menanggapi tindakan reclaiming yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut, Kasi Sengketa Konflik dan Perkara BPN Banyumas, Suedi
menyatakan “Tindakan reclaiming lahan
yang dilakukan masyarakat, menurut kami dengan memperhatikan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum (UUD 45) maka segala tindakan masyarakat di
Indonesia harus berpedoman berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian jika
masyarakat melakukan tindakan reclaiming lahan
dengan tidak memperhatikan aturan dalam hukum yang berlaku, maka demi tegaknya
negara hukum kepada masyarakat tersebut harus diberi tindakan hukum,” ujar
Suedi melalui wawancara tertulis kepada LPM Pro Justitia.
Pelaksanaan Reforma Agraria di Banyumas
Mengutip dari bukunya
Gunawan Wiradi yang berjudul “Prinsip-Prinsip
Reforma”, Reforma Agraria atau Agrarian
Reform, dalam pengertian terbatas
dikenal sebagai Land Reform, dimana
dalam salah satu programnya adalah redistribusi (pembagian) tanah, pemerataan
akses produktif kepada rakyat, namun untuk Agrarian
Reform tidak sekedar Land Reform tetapi
mempunyai maksud yang lebih luas, menempatkan rakyat sebagai penentu kehidupan
mereka sendiri dalam mengurus sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan
kini dan masa yang akan datang.
Program Reforma Agraria
secara bertahap di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 2007, sebagaimana dikutip
dari tulisan Susilo Bambang Yudhoyono dalam BPN RI “Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat“, yaitu mengalokasikan tanah bagi
rakyat miskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum
pertanahan diperbolehkan untuk kepentingan rakyat, hal itu dilaksanakan dengan
dasar prinsip Tanah Untuk Kesejahteraan
Rakyat.
Reforma Agraria di Indonesia
dapat berupa Land Reform Plus, yaitu
terdiri dari Asset Reform dan Access Reform. Asset Reform adalah
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Access Reform adalah kegiatan setelah
masyarakat menerima tanah dengan mendapatkan Asset Reform selanjutnya masyarakat diberi akses dan integrasi
dengan sistem ekonomi-politik dalam permodalan, pasar, teknologi, pendampingan
peningkatan kemampuan sehingga memungkinkan masyarakat mampu mengembangkan
tanahnya sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejah-teraan hidupnya.
Namun ternyata dari prinsip
Reforma Agraria tersebut, berdasarkan wawancara tertulis bersama pihak BPN
Banyumas diperoleh data bahwa Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan prinsip
Reforma Agraria tersebut dalam uraian di atas, di Kabupaten Banyumas sejak
tahun 2007 sampai 2014 ternyata tidak ada.
Hukum yang seharusnya memberikan perlindungan, keamanan dan ketertiban
kepada masyarakat, tapi nyatanya masyarakat justru tidak percaya akan adanya
hukum. Lantas masih perlukah hukum itu ada ketika masyarakat tidak lagi percaya
pada hukum? Ini menjadi bahan renungan kita sebagai mahasiswa khususnya
mahasiswa fakultas hukum, dalam menyikapi persoalan yang terjadi di tataran
implementasi. Bukan hanya belajar di tataran teori, melainkan juga kita harus
melihat kondisi riil yang terjadi di masyarakat, dalam artian mencari, memahami dan memberikan solusi yang
tepat untuk masyarakat demi terciptanya bangsa Indonesia yang lebih baik.
Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edisi XXIII/th.XXIII 2014
Label:
Banyumas,
Hak Guna Usaha,
Majalah,
Pro Justitia
Gempa dari Kebumen sampai ke Amerika Serikat
Sabtu, 25 Januari 2014
Malem ini aku terheran-heran, terkaget-kaget dan terkepo-kepo ketika Ummi SMS, "Git. Tadi di tempatmu ada gempa, gmn kabarmu". Sontak aku langsung memastikan, "Apa iya sih ???".
Aku nyari orang sekitar, namun sayang temen2 kosan sudah pada pulang liburan, yg punya kosan juga entah kemana. Ga ada orang. Masa mau nanya rumput yang bergoyang ??? haha...:D
Lantas sebagai remaja yg terpengaruh perkembangan gadget, aku langsung ambil HP lalu nanya sama mbah Gugel. Eh, sungguh terlalu... ternyata memang benar telah terjadi gempa disini tadi siang. Tepatnya pukul 12.14 WIB. Dan aku sadar, aku ga tahu tadi siang ada gempa karena pada saat itu aku sedang tertidur pulas di kamar kosan, setelah beberapa hari ga sempet tidur malem di kosan sendiri. Hahaha :D
Gempa atau kata orang jawa bilang "Lindu" kata BMKG melalui mbah Gugel ternyata terjadi di kedalaman 48 KM, 104 Barat Daya Kebumen, Jawa Tengah, dengan lokasi di 8,48 LS - 109,17 BT. Gempa dengan ukuran 6,5 skala richter ini katanya sih ngga mengakibatkan Tsunami.
Telusur demi telusur aku nyari di mbah Gugel, eh ternyata.... gempanya bukan hanya dirasakan di kawasan Barlingmascakeb (Banjar, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) tetapi juga di 5 Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, DKI Jakarta dan sekitarnya, hingga yg paling ga percaya sampai tercatat di BMKG Amerika Serikat. Weleh-weleh...
Semoga kejadian ini membuat kita semakin tabah, ikhlas dan meningkatkan amal ibadah kita :D
atas cobaan demi cobaan yg bangsa ini alami, mulai dari banjir, longsor, kecelakaan pengangkutan, hingga gunung meletus. Amiin.
Aku nyari orang sekitar, namun sayang temen2 kosan sudah pada pulang liburan, yg punya kosan juga entah kemana. Ga ada orang. Masa mau nanya rumput yang bergoyang ??? haha...:D
Lantas sebagai remaja yg terpengaruh perkembangan gadget, aku langsung ambil HP lalu nanya sama mbah Gugel. Eh, sungguh terlalu... ternyata memang benar telah terjadi gempa disini tadi siang. Tepatnya pukul 12.14 WIB. Dan aku sadar, aku ga tahu tadi siang ada gempa karena pada saat itu aku sedang tertidur pulas di kamar kosan, setelah beberapa hari ga sempet tidur malem di kosan sendiri. Hahaha :D
Gempa atau kata orang jawa bilang "Lindu" kata BMKG melalui mbah Gugel ternyata terjadi di kedalaman 48 KM, 104 Barat Daya Kebumen, Jawa Tengah, dengan lokasi di 8,48 LS - 109,17 BT. Gempa dengan ukuran 6,5 skala richter ini katanya sih ngga mengakibatkan Tsunami.
Telusur demi telusur aku nyari di mbah Gugel, eh ternyata.... gempanya bukan hanya dirasakan di kawasan Barlingmascakeb (Banjar, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) tetapi juga di 5 Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, DKI Jakarta dan sekitarnya, hingga yg paling ga percaya sampai tercatat di BMKG Amerika Serikat. Weleh-weleh...
Semoga kejadian ini membuat kita semakin tabah, ikhlas dan meningkatkan amal ibadah kita :D
atas cobaan demi cobaan yg bangsa ini alami, mulai dari banjir, longsor, kecelakaan pengangkutan, hingga gunung meletus. Amiin.
Study Trip to LAPAS di Pulau Narapidana, Pulau Nusakambangan
Jumat, 17 Januari 2014
Pengantar
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam
rangka mewujudkan sebagai negara hukum, negara Indonesia berupaya untuk
melakukan penegakkan hukum. Masalah demi masalah di bidang hukum yang marak
terjadi belakangan ini, menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah untuk menegakkan
hukum. Sebagai contoh di bidang Hukum Pidana, eksistensi Sistem Peradilan Pidana
mulai dipertanyakan. Karena ironis hampir seluruh tindak kejahatan yang
ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara.
Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah
kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh
tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju
keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya
penghilangan stigma dari individu pelaku.
Untuk menyikapi masalah tersebut, para ahli Hukum
Pidana beranggapan bahwa ada suatu saat ketika tindak kejahatan dapat direstorasi
kembali. Pemikiran akan paradigma penghukuman ini dikenal sebagai restorative justice, di mana pelaku
kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada
korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang
kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar
bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat
mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum
mereka masuk ke dalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses
rehabilitasi. Untuk itulah peran Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan.
Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS)
adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah LAPAS, di Indonesia tempat
tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit
Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga
Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada
dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di
lembaga pemasyarakatan di sebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu
lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali
digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan
bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas
yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke
dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LAPAS di Indonesia mencapai
97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang.
Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.[1]
Salah satu dari sekian LAPAS yang ada di
Indonesia, terselip nama LAPAS yang terkenal yaitu LAPAS Nusakambangan. Istilah
"LAPAS Nusakambangan" sebenarnya adalah sebuah kerancuan dalam
pengertian khalayak ramai. Karena secara fakta tidak satupun nama LAPAS yang
ada di Pulau Nusakambangan yang bernama demikian, karena Nusakambangan hanyalah
nama sebuah pulau di selatan Cilacap, Jawa Tengah.
“Nusakambangan” adalah nama sebuah pulau di Jawa
Tengah yang lebih dikenal sebagai tempat terletaknya beberapa Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) berkeamanan tinggi (Super
Maximum Security / SMS) di Indonesia. Secara geografis pulau ini terletak
7.30' Lintang Selatan - 7.35' Lintang Selatan dan 108.53' Bujur Timur - 109.3'
Bujur Timur, dengan panjang pulau ± 36 KM dan lebar ± 5 KM, sehingga Luas Pulau
Nusakambangan ± 121 KM2. Terletak diantara Pulau Jawa dengan Pulau
Nusakambangan dipisahkan oleh Segara Anakan. Pulau ini masuk dalam wilayah
administratif Kabupaten Cilacap dan tercatat dalam daftar pulau terluar
Indonesia.
Selain terkenal sebagai LAPAS yang menerapkan Super Maximum Security, ternyata sering juga digunakan sebagai tempat
latihan militer, seperti Kopasus (Komando Pasukan Khusus). Hal ini terbukti
dengan keberadaan sebuah Tugu Kopasus beserta simbol Pisau khas Kopasus
berukuran raksasa yang tertancap di batu yang terletak di pantai Permisan, Pulai
Nusakambangan. Dan pada tahun 1996 terjadi kesepakatan antara Departemen
Kehakiman dengan Departemen Pariwisata untuk membuka Pulau Nusakambangan untuk
keperluan pariwisata. Untuk menuju ke Pulau Nusa Kambangan para pengunjung
hanya dikenakan biaya kurang lebih Rp 30.000, yaitu untuk transportasi dan
retribusi bagi Provinsi Jawa Tengah, Pemkab Cilacap, dan Departemen Kehakiman
(retribusi LAPAS).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka
kami Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang
mengambil Mata Kuliah Pilihan Penologi bersama dengan Dosen Pengampu yaitu
Bapak Dr. Budiono, S.H, M,H berkeinginan untuk mengetahui kondisi riil proses
dinamika kepenjaraan / pemasyarakatan yang ada di negara Indonesia, tepatnya di
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Nusakambangan.
Sekelumit Cerita
Hari itu, tepatnya hari Senin tanggal 30 Desember
2013, kami sekumpulan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) pengambil mata kuliah Penologi bersama dengan dosen pengampu mata
kuliah ini, Dr. Budiono, S.H, M.H mengadakan kunjungan belajar (Study Trip) ke Pulau Nusakambangan. Rencana
kunjungan ini sebenarnya sudah diniatkan jauh-jauh hari, namun karena berbagai
kendala agenda ini sempat mundur dari jadwal keberangkatan semula, namun
akhirnya dapat direalisasikan.
Agenda ini merupakan salah satu unsur tugas
terstruktur mata kuliah pilihan Penologi. Oleh karena itu setiap mahasiswa yang
mengambil mata kuliah ini diwajibkan untuk turut serta. Meskipun begitu, kami
mahasiswa tidak hanya memandang ini sebuah Study, tetapi juga liburan akhir
tahun. Dengan hanya membayar kontribusi sebesar Rp. 70.000,- kami sudah bisa
berlibur dan belajar di Pulau Nusakambangan, tempat para Narapidana dipenjara.
Senin pagi, tepatnya pukul 06.00 WIB, kami diwajibkan
untuk berkumpul di kampus, dengan rencana keberangkatan adalah pukul 06.30 WIB.
Waktu berlalu dan kami saling menunggu. Menunggu bus yang akan kami tunggangi
menuju objek study trip dan menunggu
kawan-kawan kami yang belum juga datang meski bus sudah tiba di kampus. Baru
selang setengah jam dari jadwal keberangkatan, semuanya sudah lengkap dan
perjalanan siap dimulai.
Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan
sepertinya. Entah mengapa, karena terlalu pagi atau kondisi lelah baru selang
beberapa menit bus melaju, tidak sedikit yang mulai kelelahan dan mengantuk.
Mungkin kurang tidur semalam, karena tidak sabar untuk segera ke Nusakambangan.
Selang sekitar 2 (dua) jam, bus berhenti. Yang
tertidur sontak terbangun. Ternyata kami sudah sampai di Cilacap. Tepatnya di
Pelabuhan Sodong, Cilacap. Kami lantas turun dari bus dan bersiap menunggu
perahu motor pengangkut penumpang untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Dan
hanya memakan waktu 10 (sepuluh) menit, kami sampai di Pelabuhan Wijayapura, Pulau
Nusakambangan. Sesampainya di Pelabuhan, rombongan kami langsung dijemput oleh
bus dari LAPAS yang biasanya mengantar para tamu yang akan mengunjungi LAPAS
yang ada di Pulau Nusakambangan.
Berikut ini akan dijelaskan hasil studi yang bisa
diperoleh selama kunjungan ke LAPAS yang di Pulau Nusakambangan :
Tahun 1861 : Awal masuknya orang-orang yang terkena hukuman, yang dikirim ke Nusakambangan, ditempatkan dibarak dari kayu/bambu untuk membuka perkebunan karet.
Tahun 1862 : Penduduk asli Nusakambangan dievakuasi ke kampung Laut, Jojok dan Cilacap.
Tahun 1908 : Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu menetapkan Nusakambangan sebagai poelaoe boei / bijzinderstraf gevangenis.
Tahun 1912 : Ordonansi Staatblad Nomor 25 Tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Nusakambangan sebagai pulau penjara.
Tahun 1937 : Terbit Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 32 tanggal 8 Juli 1937 yang mengatur secara hukum Pulau Nusakambangan adalah milik departemen van justitie.
Tahun 1962 : Terbit Surat Keputuan Kepala Jawatan Kepenjaraan yang mengeluarkan ketentuan mengenai narapidana yang di-kirim ke Pulau Nusakambangan narapidana harus diseleksi kemampuan dan ketrampilan dengan sisa pidana paling lama 5 tahun atau paling sedikit 1 tahun serta berkelakuan baik untuk merawat dan menyadap karet.
Tahun 1974 : Terbit Keputusan Presiden No. 34 tahun 1974 yang menetapkan Pulau Nusakambangan sebagai pulau terbuka untuk penelitian dan pengembangan potensi sumber daya alam.
Tahun 1983 : Terbit Surat Keputusan Menteri Kehakiman yang meng-intruksikan Nusakambangn sebagai tempat pembinaan bagi narapidana yang sulit dibina di LAPAS-LAPAS luar Nusakambangan.
Tahun 1985 : Terbit Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M-01-PR.07.03 tahun 1985 - 5 ( lima ) LAPAS yang kondisi bangunan kurang memadai yaitu : LAPAS Karang Tengah, LAPAS Gliger, LAPAS Limus Buntu, LAPAS Nirbaya dan LAPAS Karang Anyar.
Tahun 1995 : Terbit Surat Keptusan Menteri Kehakiman tanggal 24 april 1995 no. M-01-um.o1.06 – 17 tentang pemanfaatan Pulau Nusakambangan sebagai obyek dan daya tarik wisata.
B.
Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) Di Nusakambangan
Ada 9 (sembilan) LAPAS yang dibangun di pulau, 4
(empat) diantaranya masih digunakan :
1.
LAPAS Permisan, dibangun pada tahun 1908,
2.
LAPAS Batu, dibangun pada tahun 1925,
3.
LAPAS Besi, dibangun pada tahun 1928,
4.
LAPAS Kembang Kuning, dibangun pada tahun 1950.
Ada juga 5 (lima) LAPAS tidak aktif:
1.
LAPAS Nirbaya, dibangun pada tahun 1912,
2.
LAPAS Karanganyar, dibangun pada tahun 1912,
3.
LAPAS Karangtengah, dibangun pada tahun 1928,
4.
LAPAS Gliger, dibangun pada tahun 1929,
5.
LAPAS Limusbuntu, dibangun pada tahun 1935.
Semua ini dibangun oleh Belanda, kecuali LAPAS
Kembang Kuning, yang dibangun setelah kemerdekaan. Dari jumlah tersebut,
Penjara Batu (secara harfiah berarti "penjara batu") dianggap yang
paling terkenal.
Ada juga 3 (tiga) LAPAS baru yang dibangun
setelah tahun 2000, yaitu;
1.
LAPAS Terbuka, beroperasi tahun 2003
2.
LAPAS Narkotika / Gladagan, dibangun pada tahun
2004 beroperasi tahun 2008
3.
LAPAS Pasir Putih / SMS (Super Maximum Security), beroperasi tahun 2004
Ada 7 (tujuh) LAPAS di Pulau Nusakambangan yang
hingga saat ini masih aktif digunakan. Ke-7 LAPAS tersebut yaitu LAPAS Terbuka,
LAPAS Batu, LAPAS Besi, LAPAS Kembang Kuning, LAPAS Narkotika, LAPAS Permisan
dan LAPAS Pasir Putih. Dari 7 (tujuh) LAPAS yang ada tersebut, sayangnya kami
hanya bisa berkesempatan mengunjungi 3 (tiga) LAPAS yaitu LAPAS Kelas I Batu
Nusakambangan, LAPAS Kelas II A Pasir Putih dan LAPAS Terbuka.
Berikut ini hasil yang diperoleh saat mengunjungi
LAPAS tersebut di atas :
1. LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang pertama kami kunjungi adalah
LAPAS Klas I Batu Nusakambangan. LAPAS ini dibangun pada tahun 1925, dan
terakhir direnovasi pada tahun 2008 silam. Kapasitas hunian pada saat pertama
dibangun adalah 400 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), namun pada saat ini
kapasitasnya adalah 223 WBP. Di LAPAS Batu ini terdiri dari 35 kamar yang
terbagi ke dalam 4 (empat) blok, yaitu Blok Barat terdapat 6 kamar, Blok Utara
tterdapat 8 kamar, Blok Timur terdapat 6 kamar dan Blok Sel / Mapenaling
terdapat 15 kamar.
Jumlah Pegawai yang bekerja di LAPAS Batu ini sejumlah 98 orang,
terdiri dari 91 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Dari 98 orang tersebut 1
orang menjadi Kalapas, 24 orang menjadi Pegawai Tata Usaha, 14 orang bertugas
pada Pembinaan, 8 orang bertugas pada Kegiatan Kerja, 6 orang sebagai
Administrasi Keamanan dan Ketertiban (Kambtib) dan 45 orang bertugas di KPLP.
Berdasarkan tingkat pendidikan dari para pegawai mayoritas adalah lulusan SLTA,
yaitu sejumlah 55 orang. Sisanya 37 orang dari S 1, 4 orang dari S 2 serta dari
SD dan D 3 masing-masing 1 orang.
Berikut ini tabel keadaan isi LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan per
30 Desember 2013 :
Katagori Jenis Hukuman Penjara
|
WBP / Orang
|
Terpidana Mati
|
23
|
Terpidana Seumur Hidup
|
61
|
Narapidana B I (penjara di atas 1 tahun)
|
298
|
Narapidana B II A (penjara sampai dengan 1
tahun)
|
-
|
Narapidana B III S (kurungan pengganti denda)
|
-
|
Jumlah Total
|
382
|
Sumber : Data Statistik LAPAS Kelas I Batu
Nusakambangan
LAPAS ini merupakan salah satu diantara 7 (tujuh) LAPAS di Pulau
Nusakambangan yang dianggap sering paling sering kedapatan narapidana-nya
kabur. Baru-baru ini saja ada 2 (orang) narapidana yang kabur. Namun beruntung
keduanya berhasil ditangkap kembali.
Kepala LAPAS (Kalapas) Klas I Batu Nusakambangan sejak tanggal 14
September 2013, Bapak Drs. Liberti Sitinjak, M.M, M.Si., dalam kesempat-annya
banyak bercerita pada saat acara penyambutan kunjungan kami. Beliau berpesan
bahwa menjadi Kalapas adalah hal yang tidak mudah. Banyak godaan yang sangat
menggiurkan yang ditawarkan oleh para narapidana yang ada. Mulai dari godaan
uang, fasilitas ke luar negeri hingga godaan gratifikasi wanita. Beliau juga
berpesan kepada kami sebagai mahasiswa, agar tetap memper-tahankan idealismenya
bukan hanya ketika menjadi mahasiswa, tetapi juga kelak ketika terjun langsung
dalam birokrasi pemerintahan. Jangan mudah mengikuti arus, karena ketika arus
itu justru membawa kita pada jurang kehancuran maka kita harus melawan arus
tersebut.
2. LAPAS Kelas II A Pasir Putih
LAPAS ini adalah tempat kedua yang kami kunjungi. LAPAS ini mulai beroperasi
pada tahun 2007 dan konon merupakan LAPAS dengan tingkatan Super Maximum Security. Pengamanan ekstra ketat mulai dari pintu
masuk LAPAS sampai dengan di dalam LAPAS. Struktur bangunan LAPAS ini hampir
sama dengan LAPAS lain, kecuali LAPAS Terbuka. Hanya saja bangunan LAPAS ini
dibuat dengan 3 (tga) tembok berlapis beton dan pagar kawat berduri yang
tinngi, sehingga kecil kemungkinan ada narapidana yang masuk maupun keluar dari
gedung LAPAS ini.
LAPAS ini kebanyakan diisi oleh para narapidana dengan ancaman
pidana yang berat, kebanyakan dari mereka hukuman mati atau seumur hidup.
Namun, meskipun terkesan angker dan menyeramkan, karena LAPAS ini berisi
narapidana kelas berat namun rasa takut itu sedikit berkurang. Karena ketika
kami masuk ke dala LAPAS ini, kami langsung disambut ramah oleh para pegawai LAPAS
dan sebagian narapidana yang sedang berlatih musik di ruang aula LAPAS.
Sekumpulan narapidana itu salah satunya adalah terpidana kasus narkotika. Meski
belum kenal, mereka dengan roman bahagia dengan semangatnya mempersembahkan
kepada kami beberapa penggal lagu dari 4 album yang berhasil mereka buat. Kami pun terbawa suasana senang sekaligus
haru. Seorang terpidana mati yang mestinya kita hibur dan diberikan semangat
malah justru ia sendiri yang memberikan kita semangat untuk menghargai hidup.
3. LAPAS Terbuka
Di LAPAS ini kami tidak sempat masuk ke dalam, karena waktu itu
kondisi sedang hujan deras dan kondisi kawan-kawan kami yang terlihat
kelelahan. Disamping juga indikator bensin bus yang tersisa sudah tidak bisa
lagi melanjutkan perjalanan. Otomatis kami hanya berhenti di luar gapura pintu
masuk LAPAS Terbuka. Dari luar nampak bahwa struktur bangunan LAPAS ini sangat
jauh berbeda dengan LAPAS yang lain. Lebih pada semacam perumahan biasa, tidak
ada tembok beton yang tinggi, kawat berduri, dan pengawalan seketat LAPAS yang
lain.
Tingkat pengamanannya pun lebih pada Minimum Security. Karena di LAPAS Terbuka ini kebanyakan hanya
terdapat narapidana yang sedang melalui masa asimilasi, yang 1-4 bulan lagi
akan menghirup udara kebebasan.
C.
Tahap-Tahap
Pembinaan oleh LAPAS di Pulau Nusakambangan
Dari 7 (tujuh) LAPAS yang berada di Pulau
Nusakambangan pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam upaya pembinaan terhadap
para Warga Binaan Pemasyarakatan / Narapidana yang terdapat di masing-masing LAPAS.
Tahapan pembinaan tersebut bisa dirinci sebagai berikut :
1.
Tahap Awal ( 0 - 1/3 Masa Pidana)
a.
Persiapan Program
Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian.
b.
Mapenaling / Admissie Orientasi ( masa
pengamatan dan pengenalan lingkungan )
-
Peraturan dan Ketentuan.
-
Hak dan Kewajiban.
-
Program dan Kegiatan.
-
Interaksi Sosial Petugas
dan WBP.
-
Pengamanan : Maximum Security.
2.
Tahap Lanjutan ( 1/3 - 1/2 Masa Pidana)
a.
Pelaksanaan Program Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian.
(1) Bimbingan Kepribadian
-
Bimbingan Agama
-
Bimbingan Olahraga
-
Bimbingan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
-
Bimbingan Generasi Muda
-
Penyuluhan Hukum
-
Perpustakaan / TBM
-
PKBM
(2 Bimbingan Kemandirian
- Bimbingan Keterampilan : Pertukangan Kayu,
Pertukangan Batu, Otomotif, Batu Akik, Hidropinik serta Tanaman Hias.
- Budidaya : Perikanan, Pertanian, Peternakan serta
Perkebunan Karet dan Kelapa.
b.
Pengamanan : Medium Security.
3.
Tahap Asimilasi ( 1/2 - 2/3 Masa Pidana)
-
Lingkungan Terbatas (dengan pengawalan)
-
Lingkungan Luas (dengan pengawasan)
-
Ditempatkan pada LAPAS Terbuka
-
Pengamanan : Minimum
Security.
4.
Tahap Akhir (2/3 – Bebas)
a.
Integrasi
-
Pembebasan Bersyarat (PB)
-
Cuti Menjelang Bebas (CMB)
-
Cuti Bersyarat (CB)
b. Bimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
[2] Sumber berasal Bahan Presentasi
Perkenalan Nusakambangan yang diperoleh saat kunjungan ke LAPAS Kelas I Batu
Nusakambangan pada hari Senin, tanggal 30 Desember 2013.
BERKUASA DAN MENGUASAI
Rabu, 27 November 2013
Saat setiap orang berbondong-bondong, berkompetisi utk menjadi yg berkuasa.
Menjadi yg paling berkuasa.
Melakukan segala cara demi mendapatkannya.
Namun saat masalah terjadi, mereka diam.
Mereka saling menunjuk satu sama lain utk menangani masalah tersebut.
Hanya memerintah orang lain, dan ia pun hanya diam di tempat.
Tidak ada yang mau melakukan satu apapun.
Menjadi yg paling berkuasa.
Melakukan segala cara demi mendapatkannya.
Namun saat masalah terjadi, mereka diam.
Mereka saling menunjuk satu sama lain utk menangani masalah tersebut.
Hanya memerintah orang lain, dan ia pun hanya diam di tempat.
Tidak ada yang mau melakukan satu apapun.
Hari Pahlawan bagiku adalah . . .
Minggu, 10 November 2013
Ketika melihat kalender masehi, baik kalender konvensional maupun di gadget kesayangan, disitu terlihat Angka 10, bulan menunjukkan bulan November. Apa yang terlintas di pikiran kita ?
Mungkin ada yang ingat ini hari ulang tahunnya, ulang tahun ibunya, bapaknya atau keluarganya atau juga pacarnya, atau ini hari jadiannya, ini hari Minggu...
Masih adakah yang mengingat ini sebagai hari Pahlawan ???
maybe yes, maybe no...
Tahapan mewujudkan pidana penjara sebagai wadah pembinaan bagi Narapidana
Jumat, 08 November 2013
Francis Lieber (1829 – 1932) adalah orang yang pertama kali mempopuler-kan istilah “Penology”.[1] Dari asal kata, Penologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu poena dan logos. Poena dalam Bahasa Inggris memiliki arti “pain” (kesakitan) atau suffering (penderitaan) atau hukuman. Sedangkan kata logos memiliki arti ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukuman.
Kisah Mursi pemimpin Mesir
Rabu, 03 Juli 2013
Situasi politik Mesir kini bagai buah simalakama. Mursi dituntut
mundur oleh rakyatnya sendiri yg tdk puas dg pemerintahannya. Janjinya utk membangun
perumahan di mesir tdk terwujud. Mursi
yg diharapkan melakukan reformasi dan demokratisasi, justru dianggap meneruskan
pemerntahan lama gaya Mubarak. Harapan
utk memperbaiki ekonomi Mesir, atasi kemiskinan dan pengangguran juga tdk
segera terwujud. Rakyat yg kecewa akhirnya ultimatum Mursi utk mundur. Namun akhirnya militer ambil alih kekuasaan.