Kesedihan melanda impian dan hidup mereka,
mencuap dalam hati sanubari.
Sepertinya hidup sudah tak lagi bermakna,
ruang hidup terusik industri, persaudaraan pun renggang
yang ada hasrat demi dunia, harta, dan kekuasaan.
Rakyat menangis, petani menangis dunia tertawa
Prihatin akan konflik yang menghempaskan,
namun petani siap dan tetap berjuang.
Dengan jeritan dan berlinang airmata,
mereka terkapar di atas tanahnya sendiri.
Di tanah yang diam ini,
penindasan menjadi tuan.
Layaknya raja binatang yang berkuasa
memangsa kawanannya yang lemah dalam rantai makanan
tak terkendali, penuh luapan emosi.
Kekuasaan yang kau emban tidaklah sepanjang masa.
Seharusnya konflik ini sanggup ditiadakan
Mengapa tega mendzalimi sesamamu?
Persaudaraan bukan sekedar mimpi,
sederhana namun layak diperjuangkan.
Keprihatinan ini sempat golakkan gedung berbau tanah itu,
namun seisinya hanya diam.
Mereka tak ubahnya binatang peliharaan,
yang patuh pada tuannya, dan
yang tak mau disalahkan,
yang ada saling menyalahkan.
Ya Tuhan berikanlah kesadaran kepada mereka.
Kami semua makhluk-Mu,
Kami bersujud pada-Mu,
Kami berdo'a semoga konflik ini berakhir
hingga tak ada lagi penindasan
hingga seisi dunia mampu tersenyum kembali
Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edisi XXIII/th.XXIII 2014
Tanah Diam Bertuankan Penindasan
Sabtu, 05 Juli 2014
Label:
Majalah,
Pro Justitia,
Puisi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !