Apa yang kalian ingat ketika
mendengar istilah mendoan, Baturraden
atau tokoh wayang yang namanya Ki Semar? Ya, semuanya itu mengingatkan kita pada
suatu daerah yang bernama Banyumas. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja bahan
cerita yang bisa menggambarkan keberadaan Banyumas. Dan kita disini bukan
hendak membahas mendoan, Baturraden
ataupun Ki Semar, tetapi hal yang riil terjadi di masyarakat, hal yang mungkin
belum kita sadari bahkan mungkin kita tidak percaya bahwa itu benar terjadi di
masyarakat, yakni tentang konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas
yang berdampak pada matinya mata pencaharian kaum petani pribumi.
Berbicara tentang Banyumas, kini
kita bisa tahu hanya dengan browsing di
internet dengan meng-klik website
Wikipedia.org. Hasilnya, disitu nampak bahwa sebenarnya Banyumas merupakan nama sebuah kecamatan sekaligus kabupaten
yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27
kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan, dengan
luas wilayah sekitar 1.327.759, 56 ha. Dari luasan wilayah tersebut, masing-masing
kecamatan tersebut memiliki tanah pertanian yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Namun, dalam kenyataannya, tanah-tanah pertanian tersebut tidak
diolah sesuai dengan peruntukkannya. Bahkan hal ini berujung pada sengketa
bahkan konflik yang tak kunjung terselesaikan.
Berdasarkan data dalam
rekapitulasi kasus pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten (BPN) Banyumas,
untuk tahun 2013 terdapat kasus pertanahan sebanyak 27 kasus. Terdiri dari 16
kasus tergolong sengketa, 10 kasus tergolong perkara dan 1 kasus tergolong
konflik. Yang kesemuanya itu menurut pihak dari BPN Banyumas telah teratasi
dengan baik. Sedangkan di tahun 2014 sendiri hingga tanggal 28 Februari 2014,
baru masuk 6 permohonan pengaduan dari masyarakat kepada BPN Banyumas.
Berdasarkan data tersebut
nampak bahwa ternyata di Banyumas juga banyak terdapat kasus di bidang pertanahan. Dan yang menarik,
disini hanya ada satu kasus yang tergolong konflik. Berdasarkan data yang
terdaftar di BPN Banyumas, konflik yang dimaksud yaitu konflik antara masyarakat
Desa Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah
perusahaan yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV
Semarang. Dimana pemicu konflik sebenarnya adalah sertipikat Hak Guna Usaha (HGU)
yang dimiliki PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Sertipikat inilah yang kemudian
memicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang BPN Banyumas dan pihak perusahaan,
kronologi kasusnya diawali dari adanya penyerobotan lahan bersertipikat Hak
Guna Usaha, namun menurut sudut pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik
mereka sejak nenek moyang. Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut berakhir, tidak diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan
kepada masyarakat.
Jika berbicara sejarah, sebagaimana
pernah ditulis oleh Elsam, sebuah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, bahwa penguasaan
lahan oleh yayasan yang dibentuk militer yaitu berawal di masa pemerintahan
Orde Baru. Masa ini adalah masa kelam bagi para petani pribumi. Bagaimana
tidak? Pada waktu itu militer mengambil-alih lahan yang dikuasai oleh
orang-orang yang dituduh pro komunis (PKI). Siapapun yang mengolah lahan
dianggap pro komunis (PKI). Maka dari itu, tak sedikit masyarakat yang merasa
takut karenanya dan lebih memilih menyerahkan lahan mereka. Inilah awal
penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk oleh militer, yang hingga kini
terus dipertahankan. Masuknya militer sebagai penguasa baru atas lahan inilah
yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria hingga kini. Lalu
pasca rezim Soeharto, atau awal reformasi, tahun 1999, lahirlah
perlawanan-perlawanan kaum petani dan masyarakat untuk merebut kembali (reclaiming) tanah-tanah yang dirampas
pengusaha, penguasa, birokrat, maupun militer dengan baju Hak Guna Usaha. Kalau
di Banyumas sendiri ada Paguyuban Petani Banyumas (PPB), STAN AMPERA (Serikat
Petani Amanah Penderitaan Rakyat) dan lain sebagainya.
Usaha reklaim tersebut
terjadi sebagai akibat dari kebijakan agraria yang dianggap tidak berpihak
kepada rakyat khususnya para petani. Ironisnya, respon pemerintah dalam
menghadapi perlawanan para petani justru mengedepankan kekerasan. Pola
kekerasan yang dilakukan meliputi pembumihangusan wilayah perkampungan petani,
penculikan, pembunuhan, penembakan, penyiksaan, dan kriminalisasi. Penyiksaan
terhadap petani dilakukan oleh preman dan militer yang “disewa” pengusaha.
Dalam perspektif hak asasi manusia, kekerasan yang dilakukan dalam bentuk
penyiksaan terhadap petani merupakan bukti bahwa pemerintah tidak berkeinginan
menuntaskan persoalan agraria, bahkan membungkam perjuangan petani yang hendak
mencari keadilan. Konflik di Desa Darmakradenan inilah yang menjadi bukti riil bahwa
peristiwa semacam ini pernah terjadi dan hingga kini belum ada titik temu
penyelesaian permasalahan.
Selama perjuangannya, para
petani Darmakradenan telah banyak menikmati berbagai macam kekerasan, baik
secara fisik maupun psikis dari orang-orang yang mengaku aparat. Salah seorang
warga Darmakradenan yang saat itu sempat terkena pukulan menceritakan, “Kejadian
itu terjadi sekitar pukul setengah lima sore, dengan memberikan aba-aba, ada letusan
senapan selama beberapa kali. Pada waktu itu banyak yang terkena luka. Termasuk
saya sendiri terkena pukulan POLRI sampai beberapa kali. Kami dikejar bahkan
sampai di luar perkebunan. Dari warga tadinya mau dituntut, tapi dari Tim 11
setuju hanya dengan pengobatan dan permintaan maaf,” ungkap Zaenal yang juga selaku
Sekretaris STAN AMPERA.
Pasca kejadian itu, warga
yang pada saat itu terkena dampak kekerasan merasa trauma atas kejadian
tersebut, termasuk Zaenal. Bahkan hal ini sempat menyebabkan ia tak ingin lagi
berjuang. Ia pasrah. Namun tak butuh waktu lama, ia bangkit dari traumanya dan
membulatkan tekadnya untuk berjuang kembali dengan rekannya sesama petani,
sesama warga Darmakradenan untuk memperjuangkan tanah leluhurnya.
Terhadap obyek yang menjadi
konflik, pernah diadakan penyelesaian secara mediasi oleh BPN, Pemkab dan DPRD
Kab. Banyumas pada tahun 1999, akan tetapi dalam mediasi tidak dapat dicapai
kesepakatan antara kedua belah pihak. Perjuangan pun berlanjut melalui jalur
hukum ke pengadilan. Sayangnya, hingga tingkat banding alhasil tetap dimenangkan
oleh pihak PT. RSA. Atas hasil banding yang tidak memihak, masyarakat Darmakradenan
sebenarnya sempat ingin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun di tengah
jalan hal itu tak kunjung terealisasikan. Karena masyarakat beranggapan bahwa jika
melalui hukum mereka pasti akan kalah.
“Kalau kita berbicara
masalah hukum pasti kita tetap kalah. Kalau kita berbicara tentang hukum, yang
mana sih masyarakat dijamin oleh hukum ini? Dimana masyarakat ini terjamin dalam
berbicara hukum? Ga ada loh Mas. Hukum itu untuk melindungi
orang-orang yang punya kekuasaan, orang-orang yang punya duit. Kesannya
undang-undang itu baik, tapi realistasnya apa? Kalau kita berbicara ‘pisau’
pasti tajamnya ke bawah,” ujar Darsum selaku Wakil Ketua STAN AMPERA.
Konsekuensi hukum dengan
tidak diajukannya kasasi, maka sejak 30 Maret 2004 atas perkara ini sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Atas dasar inilah kemudian masyarakat
tidak lagi percaya pada hukum. Dan lebih memilih melalui jalur politik petani,
yakni reclaiming lahan.
Menanggapi tindakan reclaiming yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut, Kasi Sengketa Konflik dan Perkara BPN Banyumas, Suedi
menyatakan “Tindakan reclaiming lahan
yang dilakukan masyarakat, menurut kami dengan memperhatikan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum (UUD 45) maka segala tindakan masyarakat di
Indonesia harus berpedoman berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian jika
masyarakat melakukan tindakan reclaiming lahan
dengan tidak memperhatikan aturan dalam hukum yang berlaku, maka demi tegaknya
negara hukum kepada masyarakat tersebut harus diberi tindakan hukum,” ujar
Suedi melalui wawancara tertulis kepada LPM Pro Justitia.
Pelaksanaan Reforma Agraria di Banyumas
Mengutip dari bukunya
Gunawan Wiradi yang berjudul “Prinsip-Prinsip
Reforma”, Reforma Agraria atau Agrarian
Reform, dalam pengertian terbatas
dikenal sebagai Land Reform, dimana
dalam salah satu programnya adalah redistribusi (pembagian) tanah, pemerataan
akses produktif kepada rakyat, namun untuk Agrarian
Reform tidak sekedar Land Reform tetapi
mempunyai maksud yang lebih luas, menempatkan rakyat sebagai penentu kehidupan
mereka sendiri dalam mengurus sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan
kini dan masa yang akan datang.
Program Reforma Agraria
secara bertahap di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 2007, sebagaimana dikutip
dari tulisan Susilo Bambang Yudhoyono dalam BPN RI “Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat“, yaitu mengalokasikan tanah bagi
rakyat miskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum
pertanahan diperbolehkan untuk kepentingan rakyat, hal itu dilaksanakan dengan
dasar prinsip Tanah Untuk Kesejahteraan
Rakyat.
Reforma Agraria di Indonesia
dapat berupa Land Reform Plus, yaitu
terdiri dari Asset Reform dan Access Reform. Asset Reform adalah
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Access Reform adalah kegiatan setelah
masyarakat menerima tanah dengan mendapatkan Asset Reform selanjutnya masyarakat diberi akses dan integrasi
dengan sistem ekonomi-politik dalam permodalan, pasar, teknologi, pendampingan
peningkatan kemampuan sehingga memungkinkan masyarakat mampu mengembangkan
tanahnya sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejah-teraan hidupnya.
Namun ternyata dari prinsip
Reforma Agraria tersebut, berdasarkan wawancara tertulis bersama pihak BPN
Banyumas diperoleh data bahwa Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan prinsip
Reforma Agraria tersebut dalam uraian di atas, di Kabupaten Banyumas sejak
tahun 2007 sampai 2014 ternyata tidak ada.
Hukum yang seharusnya memberikan perlindungan, keamanan dan ketertiban
kepada masyarakat, tapi nyatanya masyarakat justru tidak percaya akan adanya
hukum. Lantas masih perlukah hukum itu ada ketika masyarakat tidak lagi percaya
pada hukum? Ini menjadi bahan renungan kita sebagai mahasiswa khususnya
mahasiswa fakultas hukum, dalam menyikapi persoalan yang terjadi di tataran
implementasi. Bukan hanya belajar di tataran teori, melainkan juga kita harus
melihat kondisi riil yang terjadi di masyarakat, dalam artian mencari, memahami dan memberikan solusi yang
tepat untuk masyarakat demi terciptanya bangsa Indonesia yang lebih baik.
Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edisi XXIII/th.XXIII 2014
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !