Tanah Diam Bertuankan Penindasan

Sabtu, 05 Juli 2014

Kesedihan melanda impian dan hidup mereka,
mencuap dalam hati sanubari.
Sepertinya hidup sudah tak lagi bermakna,
ruang hidup terusik industri, persaudaraan pun renggang 
yang ada hasrat demi dunia, harta, dan kekuasaan.

Rakyat menangis, petani menangis dunia tertawa
Prihatin akan konflik yang menghempaskan,
namun petani siap dan tetap berjuang.
Dengan jeritan dan berlinang airmata,
mereka terkapar di atas tanahnya sendiri.

Hak Guna Usaha Pemicu Konflik Tanah Di Banyumas

Apa yang kalian ingat ketika mendengar istilah mendoan, Baturraden atau tokoh wayang yang namanya Ki Semar? Ya, semuanya itu mengingatkan kita pada suatu daerah yang bernama Banyumas. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja bahan cerita yang bisa menggambarkan keberadaan Banyumas. Dan kita disini bukan hendak membahas mendoan, Baturraden ataupun Ki Semar, tetapi hal yang riil terjadi di masyarakat, hal yang mungkin belum kita sadari bahkan mungkin kita tidak percaya bahwa itu benar terjadi di masyarakat, yakni tentang konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas yang berdampak pada matinya mata pencaharian kaum petani pribumi.

Berbicara tentang Banyumas, kini kita bisa tahu hanya dengan browsing di internet dengan meng-klik website Wikipedia.org. Hasilnya, disitu nampak bahwa sebenarnya Banyumas merupakan nama sebuah kecamatan sekaligus kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan, dengan luas wilayah sekitar 1.327.759, 56 ha. Dari luasan wilayah tersebut, masing-masing kecamatan tersebut memiliki tanah pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Namun, dalam kenyataannya, tanah-tanah pertanian tersebut tidak diolah sesuai dengan peruntukkannya. Bahkan hal ini berujung pada sengketa bahkan konflik yang tak kunjung terselesaikan.

Berdasarkan data dalam rekapitulasi kasus pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten (BPN) Banyumas, untuk tahun 2013 terdapat kasus pertanahan sebanyak 27 kasus. Terdiri dari 16 kasus tergolong sengketa, 10 kasus tergolong perkara dan 1 kasus tergolong konflik. Yang kesemuanya itu menurut pihak dari BPN Banyumas telah teratasi dengan baik. Sedangkan di tahun 2014 sendiri hingga tanggal 28 Februari 2014, baru masuk 6 permohonan pengaduan dari masyarakat kepada BPN Banyumas.

Berdasarkan data tersebut nampak bahwa ternyata di Banyumas juga banyak terdapat kasus  di bidang pertanahan. Dan yang menarik, disini hanya ada satu kasus yang tergolong konflik. Berdasarkan data yang terdaftar di BPN Banyumas, konflik yang dimaksud yaitu konflik antara masyarakat Desa Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah perusahaan yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV Semarang. Dimana pemicu konflik sebenarnya adalah sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Sertipikat inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang BPN Banyumas dan pihak perusahaan, kronologi kasusnya diawali dari adanya penyerobotan lahan bersertipikat Hak Guna Usaha, namun menurut sudut pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik mereka sejak nenek moyang. Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut berakhir, tidak diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan kepada masyarakat.

Jika berbicara sejarah, sebagaimana pernah ditulis oleh Elsam, sebuah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, bahwa penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk militer yaitu berawal di masa pemerintahan Orde Baru. Masa ini adalah masa kelam bagi para petani pribumi. Bagaimana tidak? Pada waktu itu militer mengambil-alih lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang dituduh pro komunis (PKI). Siapapun yang mengolah lahan dianggap pro komunis (PKI). Maka dari itu, tak sedikit masyarakat yang merasa takut karenanya dan lebih memilih menyerahkan lahan mereka. Inilah awal penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk oleh militer, yang hingga kini terus dipertahankan. Masuknya militer sebagai penguasa baru atas lahan inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria hingga kini. Lalu pasca rezim Soeharto, atau awal reformasi, tahun 1999, lahirlah perlawanan-perlawanan kaum petani dan masyarakat untuk merebut kembali (reclaiming) tanah-tanah yang dirampas pengusaha, penguasa, birokrat, maupun militer dengan baju Hak Guna Usaha. Kalau di Banyumas sendiri ada Paguyuban Petani Banyumas (PPB), STAN AMPERA (Serikat Petani Amanah Penderitaan Rakyat) dan lain sebagainya.

Usaha reklaim tersebut terjadi sebagai akibat dari kebijakan agraria yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat khususnya para petani. Ironisnya, respon pemerintah dalam menghadapi perlawanan para petani justru mengedepankan kekerasan. Pola kekerasan yang dilakukan meliputi pembumihangusan wilayah perkampungan petani, penculikan, pembunuhan, penembakan, penyiksaan, dan kriminalisasi. Penyiksaan terhadap petani dilakukan oleh preman dan militer yang “disewa” pengusaha. Dalam perspektif hak asasi manusia, kekerasan yang dilakukan dalam bentuk penyiksaan terhadap petani merupakan bukti bahwa pemerintah tidak berkeinginan menuntaskan persoalan agraria, bahkan membungkam perjuangan petani yang hendak mencari keadilan. Konflik di Desa Darmakradenan inilah yang menjadi bukti riil bahwa peristiwa semacam ini pernah terjadi dan hingga kini belum ada titik temu penyelesaian permasalahan.

Selama perjuangannya, para petani Darmakradenan telah banyak menikmati berbagai macam kekerasan, baik secara fisik maupun psikis dari orang-orang yang mengaku aparat. Salah seorang warga Darmakradenan yang saat itu sempat terkena pukulan menceritakan, “Kejadian itu terjadi sekitar pukul setengah lima sore, dengan memberikan aba-aba, ada letusan senapan selama beberapa kali. Pada waktu itu banyak yang terkena luka. Termasuk saya sendiri terkena pukulan POLRI sampai beberapa kali. Kami dikejar bahkan sampai di luar perkebunan. Dari warga tadinya mau dituntut, tapi dari Tim 11 setuju hanya dengan pengobatan dan permintaan maaf,” ungkap Zaenal yang juga selaku Sekretaris STAN AMPERA.

Pasca kejadian itu, warga yang pada saat itu terkena dampak kekerasan merasa trauma atas kejadian tersebut, termasuk Zaenal. Bahkan hal ini sempat menyebabkan ia tak ingin lagi berjuang. Ia pasrah. Namun tak butuh waktu lama, ia bangkit dari traumanya dan membulatkan tekadnya untuk berjuang kembali dengan rekannya sesama petani, sesama warga Darmakradenan untuk memperjuangkan tanah leluhurnya.

Terhadap obyek yang menjadi konflik, pernah diadakan penyelesaian secara mediasi oleh BPN, Pemkab dan DPRD Kab. Banyumas pada tahun 1999, akan tetapi dalam mediasi tidak dapat dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Perjuangan pun berlanjut melalui jalur hukum ke pengadilan. Sayangnya, hingga tingkat banding alhasil tetap dimenangkan oleh pihak PT. RSA. Atas hasil banding yang tidak memihak, masyarakat Darmakradenan sebenarnya sempat ingin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun di tengah jalan hal itu tak kunjung terealisasikan. Karena masyarakat beranggapan bahwa jika melalui hukum mereka pasti akan kalah.

“Kalau kita berbicara masalah hukum pasti kita tetap kalah. Kalau kita berbicara tentang hukum, yang mana sih masyarakat dijamin oleh hukum ini? Dimana masyarakat ini terjamin dalam berbicara hukum? Ga ada loh Mas. Hukum itu untuk melindungi orang-orang yang punya kekuasaan, orang-orang yang punya duit. Kesannya undang-undang itu baik, tapi realistasnya apa? Kalau kita berbicara ‘pisau’ pasti tajamnya ke bawah,” ujar Darsum selaku Wakil Ketua STAN AMPERA.

Konsekuensi hukum dengan tidak diajukannya kasasi, maka sejak 30 Maret 2004 atas perkara ini sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Atas dasar inilah kemudian masyarakat tidak lagi percaya pada hukum. Dan lebih memilih melalui jalur politik petani, yakni reclaiming lahan.

Menanggapi tindakan reclaiming yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, Kasi Sengketa Konflik dan Perkara BPN Banyumas, Suedi menyatakan “Tindakan reclaiming lahan yang dilakukan masyarakat, menurut kami dengan memperhatikan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (UUD 45) maka segala tindakan masyarakat di Indonesia harus berpedoman berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian jika masyarakat melakukan tindakan reclaiming lahan dengan tidak memperhatikan aturan dalam hukum yang berlaku, maka demi tegaknya negara hukum kepada masyarakat tersebut harus diberi tindakan hukum,” ujar Suedi melalui wawancara tertulis kepada LPM Pro Justitia.

Pelaksanaan Reforma Agraria di Banyumas

Mengutip dari bukunya Gunawan Wiradi yang berjudul “Prinsip-Prinsip Reforma”, Reforma Agraria atau Agrarian Reform, dalam pengertian terbatas dikenal sebagai Land Reform, dimana dalam salah satu programnya adalah redistribusi (pembagian) tanah, pemerataan akses produktif kepada rakyat, namun untuk Agrarian Reform tidak sekedar Land Reform tetapi mempunyai maksud yang lebih luas, menempatkan rakyat sebagai penentu kehidupan mereka sendiri dalam mengurus sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan kini dan masa yang akan datang.

Program Reforma Agraria secara bertahap di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 2007, sebagaimana dikutip dari tulisan Susilo Bambang Yudhoyono dalam BPN RI “Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat“, yaitu mengalokasikan tanah bagi rakyat miskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan diperbolehkan untuk kepentingan rakyat, hal itu dilaksanakan dengan dasar prinsip Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat.

Reforma Agraria di Indonesia dapat berupa Land Reform Plus, yaitu terdiri dari Asset Reform dan Access Reform. Asset Reform adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Access Reform adalah kegiatan setelah masyarakat menerima tanah dengan mendapatkan Asset Reform selanjutnya masyarakat diberi akses dan integrasi dengan sistem ekonomi-politik dalam permodalan, pasar, teknologi, pendampingan peningkatan kemampuan sehingga memungkinkan masyarakat mampu mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejah-teraan hidupnya.

Namun ternyata dari prinsip Reforma Agraria tersebut, berdasarkan wawancara tertulis bersama pihak BPN Banyumas diperoleh data bahwa Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan prinsip Reforma Agraria tersebut dalam uraian di atas, di Kabupaten Banyumas sejak tahun 2007 sampai 2014 ternyata tidak ada.

Hukum yang seharusnya memberikan perlindungan, keamanan dan ketertiban kepada masyarakat, tapi nyatanya masyarakat justru tidak percaya akan adanya hukum. Lantas masih perlukah hukum itu ada ketika masyarakat tidak lagi percaya pada hukum? Ini menjadi bahan renungan kita sebagai mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum, dalam menyikapi persoalan yang terjadi di tataran implementasi. Bukan hanya belajar di tataran teori, melainkan juga kita harus melihat kondisi riil yang terjadi di masyarakat, dalam artian  mencari, memahami dan memberikan solusi yang tepat untuk masyarakat demi terciptanya bangsa Indonesia yang lebih baik.

Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edisi XXIII/th.XXIII 2014

Gempa dari Kebumen sampai ke Amerika Serikat

Sabtu, 25 Januari 2014

Malem ini aku terheran-heran, terkaget-kaget dan terkepo-kepo ketika Ummi SMS, "Git. Tadi di tempatmu ada gempa, gmn kabarmu". Sontak aku langsung memastikan, "Apa iya sih ???".
Aku nyari orang sekitar, namun sayang temen2 kosan sudah pada pulang liburan, yg punya kosan juga entah kemana. Ga ada orang. Masa mau nanya rumput yang bergoyang ??? haha...:D

Lantas sebagai remaja yg terpengaruh perkembangan gadget, aku langsung ambil HP lalu nanya sama mbah Gugel. Eh, sungguh terlalu... ternyata memang benar telah terjadi gempa disini tadi siang. Tepatnya pukul 12.14 WIB. Dan aku sadar, aku ga tahu tadi siang ada gempa karena pada saat itu aku sedang tertidur pulas di kamar kosan, setelah beberapa hari ga sempet tidur malem di kosan sendiri. Hahaha :D

Gempa atau kata orang jawa bilang "Lindu" kata BMKG melalui mbah Gugel ternyata terjadi di kedalaman 48 KM, 104 Barat Daya Kebumen, Jawa Tengah, dengan lokasi di 8,48 LS - 109,17 BT. Gempa dengan ukuran 6,5 skala richter ini katanya sih ngga mengakibatkan Tsunami.

Telusur demi telusur aku nyari di mbah Gugel, eh ternyata.... gempanya bukan hanya dirasakan di kawasan Barlingmascakeb (Banjar, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) tetapi juga di 5 Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, DKI Jakarta dan sekitarnya, hingga yg paling ga percaya sampai tercatat di BMKG Amerika Serikat. Weleh-weleh...

Semoga kejadian ini membuat kita semakin tabah, ikhlas dan meningkatkan amal ibadah kita :D
atas cobaan demi cobaan yg bangsa ini alami, mulai dari banjir, longsor, kecelakaan pengangkutan, hingga gunung meletus. Amiin.

Study Trip to LAPAS di Pulau Narapidana, Pulau Nusakambangan

Jumat, 17 Januari 2014

Pengantar

Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam rangka mewujudkan sebagai negara hukum, negara Indonesia berupaya untuk melakukan penegakkan hukum. Masalah demi masalah di bidang hukum yang marak terjadi belakangan ini, menunjukkan bahwa ternyata tidak mudah untuk menegakkan hukum. Sebagai contoh di bidang Hukum Pidana, eksistensi Sistem Peradilan Pidana mulai dipertanyakan. Karena ironis hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.

Untuk menyikapi masalah tersebut, para ahli Hukum Pidana beranggapan bahwa ada suatu saat ketika tindak kejahatan dapat direstorasi kembali. Pemikiran akan paradigma penghukuman ini dikenal sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk ke dalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi. Untuk itulah peran Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan.

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah LAPAS, di Indonesia tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan di sebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LAPAS di Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS.[1]

Salah satu dari sekian LAPAS yang ada di Indonesia, terselip nama LAPAS yang terkenal yaitu LAPAS Nusakambangan. Istilah "LAPAS Nusakambangan" sebenarnya adalah sebuah kerancuan dalam pengertian khalayak ramai. Karena secara fakta tidak satupun nama LAPAS yang ada di Pulau Nusakambangan yang bernama demikian, karena Nusakambangan hanyalah nama sebuah pulau di selatan Cilacap, Jawa Tengah.

“Nusakambangan” adalah nama sebuah pulau di Jawa Tengah yang lebih dikenal sebagai tempat terletaknya beberapa Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) berkeamanan tinggi (Super Maximum Security / SMS) di Indonesia. Secara geografis pulau ini terletak 7.30' Lintang Selatan - 7.35' Lintang Selatan dan 108.53' Bujur Timur - 109.3' Bujur Timur, dengan panjang pulau ± 36 KM dan lebar ± 5 KM, sehingga Luas Pulau Nusakambangan ± 121 KM2. Terletak diantara Pulau Jawa dengan Pulau Nusakambangan dipisahkan oleh Segara Anakan. Pulau ini masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap dan tercatat dalam daftar pulau terluar Indonesia.

Selain terkenal sebagai LAPAS yang menerapkan Super Maximum Security, ternyata sering juga digunakan sebagai tempat latihan militer, seperti Kopasus (Komando Pasukan Khusus). Hal ini terbukti dengan keberadaan sebuah Tugu Kopasus beserta simbol Pisau khas Kopasus berukuran raksasa yang tertancap di batu yang terletak di pantai Permisan, Pulai Nusakambangan. Dan pada tahun 1996 terjadi kesepakatan antara Departemen Kehakiman dengan Departemen Pariwisata untuk membuka Pulau Nusakambangan untuk keperluan pariwisata. Untuk menuju ke Pulau Nusa Kambangan para pengunjung hanya dikenakan biaya kurang lebih Rp 30.000, yaitu untuk transportasi dan retribusi bagi Provinsi Jawa Tengah, Pemkab Cilacap, dan Departemen Kehakiman (retribusi LAPAS).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka kami Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang mengambil Mata Kuliah Pilihan Penologi bersama dengan Dosen Pengampu yaitu Bapak Dr. Budiono, S.H, M,H berkeinginan untuk mengetahui kondisi riil proses dinamika kepenjaraan / pemasyarakatan yang ada di negara Indonesia, tepatnya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Nusakambangan.

Sekelumit Cerita

Hari itu, tepatnya hari Senin tanggal 30 Desember 2013, kami sekumpulan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) pengambil mata kuliah Penologi bersama dengan dosen pengampu mata kuliah ini, Dr. Budiono, S.H, M.H mengadakan kunjungan belajar (Study Trip) ke Pulau Nusakambangan. Rencana kunjungan ini sebenarnya sudah diniatkan jauh-jauh hari, namun karena berbagai kendala agenda ini sempat mundur dari jadwal keberangkatan semula, namun akhirnya dapat direalisasikan.

Agenda ini merupakan salah satu unsur tugas terstruktur mata kuliah pilihan Penologi. Oleh karena itu setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini diwajibkan untuk turut serta. Meskipun begitu, kami mahasiswa tidak hanya memandang ini sebuah Study, tetapi juga liburan akhir tahun. Dengan hanya membayar kontribusi sebesar Rp. 70.000,- kami sudah bisa berlibur dan belajar di Pulau Nusakambangan, tempat para Narapidana dipenjara.

Senin pagi, tepatnya pukul 06.00 WIB, kami diwajibkan untuk berkumpul di kampus, dengan rencana keberangkatan adalah pukul 06.30 WIB. Waktu berlalu dan kami saling menunggu. Menunggu bus yang akan kami tunggangi menuju objek study trip dan menunggu kawan-kawan kami yang belum juga datang meski bus sudah tiba di kampus. Baru selang setengah jam dari jadwal keberangkatan, semuanya sudah lengkap dan perjalanan siap dimulai.

Perjalanan yang cukup lama dan melelahkan sepertinya. Entah mengapa, karena terlalu pagi atau kondisi lelah baru selang beberapa menit bus melaju, tidak sedikit yang mulai kelelahan dan mengantuk. Mungkin kurang tidur semalam, karena tidak sabar untuk segera ke Nusakambangan.

Selang sekitar 2 (dua) jam, bus berhenti. Yang tertidur sontak terbangun. Ternyata kami sudah sampai di Cilacap. Tepatnya di Pelabuhan Sodong, Cilacap. Kami lantas turun dari bus dan bersiap menunggu perahu motor pengangkut penumpang untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Dan hanya memakan waktu 10 (sepuluh) menit, kami sampai di Pelabuhan Wijayapura, Pulau Nusakambangan. Sesampainya di Pelabuhan, rombongan kami langsung dijemput oleh bus dari LAPAS yang biasanya mengantar para tamu yang akan mengunjungi LAPAS yang ada di Pulau Nusakambangan.

Berikut ini akan dijelaskan hasil studi yang bisa diperoleh selama kunjungan ke LAPAS yang di Pulau Nusakambangan :

A.      Sejarah Lahirnya LAPAS di Pulau Nusakambangan[2]

Tahun 1861 : Awal masuknya orang-orang yang terkena hukuman, yang dikirim ke Nusakambangan, ditempatkan dibarak dari kayu/bambu untuk membuka perkebunan karet.

Tahun 1862 : Penduduk asli Nusakambangan dievakuasi ke kampung Laut, Jojok dan Cilacap.

Tahun 1908 : Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu menetapkan Nusakambangan sebagai poelaoe boei / bijzinderstraf gevangenis.

Tahun 1912 : Ordonansi Staatblad Nomor 25 Tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Nusakambangan sebagai pulau penjara.

Tahun 1937 : Terbit Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 32 tanggal 8 Juli 1937 yang mengatur secara hukum Pulau Nusakambangan adalah milik departemen van justitie.

Tahun 1962 : Terbit Surat Keputuan Kepala Jawatan Kepenjaraan yang mengeluarkan ketentuan mengenai narapidana yang di-kirim ke Pulau Nusakambangan narapidana harus diseleksi kemampuan dan ketrampilan dengan sisa pidana paling lama 5 tahun atau paling sedikit 1 tahun serta berkelakuan baik untuk merawat dan menyadap karet.

Tahun 1974 : Terbit Keputusan Presiden No. 34 tahun 1974 yang menetapkan Pulau Nusakambangan sebagai pulau terbuka untuk penelitian dan pengembangan potensi sumber daya alam.

Tahun 1983 : Terbit Surat Keputusan Menteri Kehakiman yang meng-intruksikan Nusakambangn sebagai tempat pembinaan bagi narapidana yang sulit dibina di LAPAS-LAPAS luar Nusakambangan.

Tahun 1985 : Terbit Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M-01-PR.07.03 tahun 1985 - 5 ( lima ) LAPAS yang kondisi bangunan kurang memadai yaitu : LAPAS Karang Tengah, LAPAS Gliger, LAPAS Limus Buntu, LAPAS Nirbaya dan LAPAS Karang Anyar.

Tahun 1995 : Terbit Surat Keptusan Menteri Kehakiman tanggal 24 april 1995 no. M-01-um.o1.06 – 17 tentang pemanfaatan Pulau Nusakambangan sebagai obyek dan daya tarik wisata.


B.            Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Di Nusakambangan
Ada 9 (sembilan) LAPAS yang dibangun di pulau, 4 (empat) diantaranya masih digunakan :
1.    LAPAS Permisan, dibangun pada tahun 1908,
2.    LAPAS Batu, dibangun pada tahun 1925,
3.    LAPAS Besi, dibangun pada tahun 1928,
4.    LAPAS Kembang Kuning, dibangun pada tahun 1950.

Ada juga 5 (lima) LAPAS tidak aktif:
1.    LAPAS Nirbaya, dibangun pada tahun 1912,
2.    LAPAS Karanganyar, dibangun pada tahun 1912,
3.    LAPAS Karangtengah, dibangun pada tahun 1928,
4.    LAPAS Gliger, dibangun pada tahun 1929,
5.    LAPAS Limusbuntu, dibangun pada tahun 1935.

Semua ini dibangun oleh Belanda, kecuali LAPAS Kembang Kuning, yang dibangun setelah kemerdekaan. Dari jumlah tersebut, Penjara Batu (secara harfiah berarti "penjara batu") dianggap yang paling terkenal.
Ada juga 3 (tiga) LAPAS baru yang dibangun setelah tahun 2000, yaitu;
1.    LAPAS Terbuka, beroperasi tahun 2003
2.    LAPAS Narkotika / Gladagan, dibangun pada tahun 2004 beroperasi tahun 2008
3.    LAPAS Pasir Putih / SMS (Super Maximum Security), beroperasi tahun 2004

Ada 7 (tujuh) LAPAS di Pulau Nusakambangan yang hingga saat ini masih aktif digunakan. Ke-7 LAPAS tersebut yaitu LAPAS Terbuka, LAPAS Batu, LAPAS Besi, LAPAS Kembang Kuning, LAPAS Narkotika, LAPAS Permisan dan LAPAS Pasir Putih. Dari 7 (tujuh) LAPAS yang ada tersebut, sayangnya kami hanya bisa berkesempatan mengunjungi 3 (tiga) LAPAS yaitu LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan, LAPAS Kelas II A Pasir Putih dan LAPAS Terbuka.

Berikut ini hasil yang diperoleh saat mengunjungi LAPAS tersebut di atas :

1.    LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang pertama kami kunjungi adalah LAPAS Klas I Batu Nusakambangan. LAPAS ini dibangun pada tahun 1925, dan terakhir direnovasi pada tahun 2008 silam. Kapasitas hunian pada saat pertama dibangun adalah 400 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), namun pada saat ini kapasitasnya adalah 223 WBP. Di LAPAS Batu ini terdiri dari 35 kamar yang terbagi ke dalam 4 (empat) blok, yaitu Blok Barat terdapat 6 kamar, Blok Utara tterdapat 8 kamar, Blok Timur terdapat 6 kamar dan Blok Sel / Mapenaling terdapat 15 kamar.
Jumlah Pegawai yang bekerja di LAPAS Batu ini sejumlah 98 orang, terdiri dari 91 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Dari 98 orang tersebut 1 orang menjadi Kalapas, 24 orang menjadi Pegawai Tata Usaha, 14 orang bertugas pada Pembinaan, 8 orang bertugas pada Kegiatan Kerja, 6 orang sebagai Administrasi Keamanan dan Ketertiban (Kambtib) dan 45 orang bertugas di KPLP. Berdasarkan tingkat pendidikan dari para pegawai mayoritas adalah lulusan SLTA, yaitu sejumlah 55 orang. Sisanya 37 orang dari S 1, 4 orang dari S 2 serta dari SD dan D 3 masing-masing 1 orang.
Berikut ini tabel keadaan isi LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan per 30 Desember 2013 :
Katagori Jenis Hukuman Penjara
WBP / Orang
Terpidana Mati
23
Terpidana Seumur Hidup
61
Narapidana B I (penjara di atas 1 tahun)
298
Narapidana B II A (penjara sampai dengan 1 tahun)
-
Narapidana B III S (kurungan pengganti denda)
-
Jumlah Total
382
Sumber : Data Statistik LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan

LAPAS ini merupakan salah satu diantara 7 (tujuh) LAPAS di Pulau Nusakambangan yang dianggap sering paling sering kedapatan narapidana-nya kabur. Baru-baru ini saja ada 2 (orang) narapidana yang kabur. Namun beruntung keduanya berhasil ditangkap kembali.
Kepala LAPAS (Kalapas) Klas I Batu Nusakambangan sejak tanggal 14 September 2013, Bapak Drs. Liberti Sitinjak, M.M, M.Si., dalam kesempat-annya banyak bercerita pada saat acara penyambutan kunjungan kami. Beliau berpesan bahwa menjadi Kalapas adalah hal yang tidak mudah. Banyak godaan yang sangat menggiurkan yang ditawarkan oleh para narapidana yang ada. Mulai dari godaan uang, fasilitas ke luar negeri hingga godaan gratifikasi wanita. Beliau juga berpesan kepada kami sebagai mahasiswa, agar tetap memper-tahankan idealismenya bukan hanya ketika menjadi mahasiswa, tetapi juga kelak ketika terjun langsung dalam birokrasi pemerintahan. Jangan mudah mengikuti arus, karena ketika arus itu justru membawa kita pada jurang kehancuran maka kita harus melawan arus tersebut.

2.    LAPAS Kelas II A Pasir Putih
LAPAS ini adalah tempat kedua yang kami kunjungi. LAPAS ini mulai beroperasi pada tahun 2007 dan konon merupakan LAPAS dengan tingkatan Super Maximum Security. Pengamanan ekstra ketat mulai dari pintu masuk LAPAS sampai dengan di dalam LAPAS. Struktur bangunan LAPAS ini hampir sama dengan LAPAS lain, kecuali LAPAS Terbuka. Hanya saja bangunan LAPAS ini dibuat dengan 3 (tga) tembok berlapis beton dan pagar kawat berduri yang tinngi, sehingga kecil kemungkinan ada narapidana yang masuk maupun keluar dari gedung LAPAS ini.
LAPAS ini kebanyakan diisi oleh para narapidana dengan ancaman pidana yang berat, kebanyakan dari mereka hukuman mati atau seumur hidup. Namun, meskipun terkesan angker dan menyeramkan, karena LAPAS ini berisi narapidana kelas berat namun rasa takut itu sedikit berkurang. Karena ketika kami masuk ke dala LAPAS ini, kami langsung disambut ramah oleh para pegawai LAPAS dan sebagian narapidana yang sedang berlatih musik di ruang aula LAPAS. Sekumpulan narapidana itu salah satunya adalah terpidana kasus narkotika. Meski belum kenal, mereka dengan roman bahagia dengan semangatnya mempersembahkan kepada kami beberapa penggal lagu dari 4 album yang berhasil mereka buat.  Kami pun terbawa suasana senang sekaligus haru. Seorang terpidana mati yang mestinya kita hibur dan diberikan semangat malah justru ia sendiri yang memberikan kita semangat untuk menghargai hidup.

3.    LAPAS Terbuka
Di LAPAS ini kami tidak sempat masuk ke dalam, karena waktu itu kondisi sedang hujan deras dan kondisi kawan-kawan kami yang terlihat kelelahan. Disamping juga indikator bensin bus yang tersisa sudah tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan. Otomatis kami hanya berhenti di luar gapura pintu masuk LAPAS Terbuka. Dari luar nampak bahwa struktur bangunan LAPAS ini sangat jauh berbeda dengan LAPAS yang lain. Lebih pada semacam perumahan biasa, tidak ada tembok beton yang tinggi, kawat berduri, dan pengawalan seketat LAPAS yang lain.
Tingkat pengamanannya pun lebih pada Minimum Security. Karena di LAPAS Terbuka ini kebanyakan hanya terdapat narapidana yang sedang melalui masa asimilasi, yang 1-4 bulan lagi akan menghirup udara kebebasan.

C.           Tahap-Tahap Pembinaan oleh LAPAS di Pulau Nusakambangan
Dari 7 (tujuh) LAPAS yang berada di Pulau Nusakambangan pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam upaya pembinaan terhadap para Warga Binaan Pemasyarakatan / Narapidana yang terdapat di masing-masing LAPAS. Tahapan pembinaan tersebut bisa dirinci sebagai berikut :

1.        Tahap Awal ( 0 - 1/3 Masa Pidana)
a.    Persiapan Program Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian.
b.    Mapenaling / Admissie Orientasi ( masa pengamatan dan pengenalan lingkungan )
-       Peraturan dan Ketentuan.
-       Hak dan Kewajiban.
-       Program dan Kegiatan.
-       Interaksi Sosial Petugas dan WBP.
-       Pengamanan : Maximum Security.

2.        Tahap Lanjutan ( 1/3 - 1/2 Masa Pidana)
a.    Pelaksanaan Program Pembinaan Kepribadian dan Kemandirian.
(1)   Bimbingan Kepribadian
-       Bimbingan Agama
-       Bimbingan Olahraga
-       Bimbingan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
-       Bimbingan Generasi Muda
-       Penyuluhan Hukum
-       Perpustakaan / TBM
-       PKBM
(2    Bimbingan Kemandirian
-     Bimbingan Keterampilan : Pertukangan Kayu, Pertukangan Batu, Otomotif, Batu Akik, Hidropinik serta Tanaman Hias.
-     Budidaya : Perikanan, Pertanian, Peternakan serta Perkebunan Karet dan Kelapa.
b.    Pengamanan : Medium Security.

3.        Tahap Asimilasi ( 1/2 - 2/3 Masa Pidana)
-       Lingkungan Terbatas (dengan pengawalan)
-       Lingkungan Luas (dengan pengawasan)
-       Ditempatkan pada LAPAS Terbuka
-       Pengamanan : Minimum Security.

4.        Tahap Akhir (2/3 – Bebas)
a.    Integrasi
-       Pembebasan Bersyarat (PB)
-       Cuti Menjelang Bebas (CMB)
-       Cuti Bersyarat (CB)
                      b.  Bimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS)



[2] Sumber berasal Bahan Presentasi Perkenalan Nusakambangan yang diperoleh saat kunjungan ke LAPAS Kelas I Batu Nusakambangan pada hari Senin, tanggal 30 Desember 2013.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger