Tanah Diam Bertuankan Penindasan

Sabtu, 05 Juli 2014

Kesedihan melanda impian dan hidup mereka,
mencuap dalam hati sanubari.
Sepertinya hidup sudah tak lagi bermakna,
ruang hidup terusik industri, persaudaraan pun renggang 
yang ada hasrat demi dunia, harta, dan kekuasaan.

Rakyat menangis, petani menangis dunia tertawa
Prihatin akan konflik yang menghempaskan,
namun petani siap dan tetap berjuang.
Dengan jeritan dan berlinang airmata,
mereka terkapar di atas tanahnya sendiri.

Hak Guna Usaha Pemicu Konflik Tanah Di Banyumas

Apa yang kalian ingat ketika mendengar istilah mendoan, Baturraden atau tokoh wayang yang namanya Ki Semar? Ya, semuanya itu mengingatkan kita pada suatu daerah yang bernama Banyumas. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja bahan cerita yang bisa menggambarkan keberadaan Banyumas. Dan kita disini bukan hendak membahas mendoan, Baturraden ataupun Ki Semar, tetapi hal yang riil terjadi di masyarakat, hal yang mungkin belum kita sadari bahkan mungkin kita tidak percaya bahwa itu benar terjadi di masyarakat, yakni tentang konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Banyumas yang berdampak pada matinya mata pencaharian kaum petani pribumi.

Berbicara tentang Banyumas, kini kita bisa tahu hanya dengan browsing di internet dengan meng-klik website Wikipedia.org. Hasilnya, disitu nampak bahwa sebenarnya Banyumas merupakan nama sebuah kecamatan sekaligus kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan, dengan luas wilayah sekitar 1.327.759, 56 ha. Dari luasan wilayah tersebut, masing-masing kecamatan tersebut memiliki tanah pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan. Namun, dalam kenyataannya, tanah-tanah pertanian tersebut tidak diolah sesuai dengan peruntukkannya. Bahkan hal ini berujung pada sengketa bahkan konflik yang tak kunjung terselesaikan.

Berdasarkan data dalam rekapitulasi kasus pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten (BPN) Banyumas, untuk tahun 2013 terdapat kasus pertanahan sebanyak 27 kasus. Terdiri dari 16 kasus tergolong sengketa, 10 kasus tergolong perkara dan 1 kasus tergolong konflik. Yang kesemuanya itu menurut pihak dari BPN Banyumas telah teratasi dengan baik. Sedangkan di tahun 2014 sendiri hingga tanggal 28 Februari 2014, baru masuk 6 permohonan pengaduan dari masyarakat kepada BPN Banyumas.

Berdasarkan data tersebut nampak bahwa ternyata di Banyumas juga banyak terdapat kasus  di bidang pertanahan. Dan yang menarik, disini hanya ada satu kasus yang tergolong konflik. Berdasarkan data yang terdaftar di BPN Banyumas, konflik yang dimaksud yaitu konflik antara masyarakat Desa Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan (RSA) yang notabene adalah perusahaan yang dikelola oleh Yayasan Rumpun Diponegoro (YARDIP) Kodam IV Semarang. Dimana pemicu konflik sebenarnya adalah sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT. Rumpun Sari Antan (RSA). Sertipikat inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang BPN Banyumas dan pihak perusahaan, kronologi kasusnya diawali dari adanya penyerobotan lahan bersertipikat Hak Guna Usaha, namun menurut sudut pandang masyarakat, lahan tersebut adalah milik mereka sejak nenek moyang. Masyarakat menghendaki jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut berakhir, tidak diperpanjang lagi dan untuk segera didistribusikan kepada masyarakat.

Jika berbicara sejarah, sebagaimana pernah ditulis oleh Elsam, sebuah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, bahwa penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk militer yaitu berawal di masa pemerintahan Orde Baru. Masa ini adalah masa kelam bagi para petani pribumi. Bagaimana tidak? Pada waktu itu militer mengambil-alih lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang dituduh pro komunis (PKI). Siapapun yang mengolah lahan dianggap pro komunis (PKI). Maka dari itu, tak sedikit masyarakat yang merasa takut karenanya dan lebih memilih menyerahkan lahan mereka. Inilah awal penguasaan lahan oleh yayasan yang dibentuk oleh militer, yang hingga kini terus dipertahankan. Masuknya militer sebagai penguasa baru atas lahan inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria hingga kini. Lalu pasca rezim Soeharto, atau awal reformasi, tahun 1999, lahirlah perlawanan-perlawanan kaum petani dan masyarakat untuk merebut kembali (reclaiming) tanah-tanah yang dirampas pengusaha, penguasa, birokrat, maupun militer dengan baju Hak Guna Usaha. Kalau di Banyumas sendiri ada Paguyuban Petani Banyumas (PPB), STAN AMPERA (Serikat Petani Amanah Penderitaan Rakyat) dan lain sebagainya.

Usaha reklaim tersebut terjadi sebagai akibat dari kebijakan agraria yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat khususnya para petani. Ironisnya, respon pemerintah dalam menghadapi perlawanan para petani justru mengedepankan kekerasan. Pola kekerasan yang dilakukan meliputi pembumihangusan wilayah perkampungan petani, penculikan, pembunuhan, penembakan, penyiksaan, dan kriminalisasi. Penyiksaan terhadap petani dilakukan oleh preman dan militer yang “disewa” pengusaha. Dalam perspektif hak asasi manusia, kekerasan yang dilakukan dalam bentuk penyiksaan terhadap petani merupakan bukti bahwa pemerintah tidak berkeinginan menuntaskan persoalan agraria, bahkan membungkam perjuangan petani yang hendak mencari keadilan. Konflik di Desa Darmakradenan inilah yang menjadi bukti riil bahwa peristiwa semacam ini pernah terjadi dan hingga kini belum ada titik temu penyelesaian permasalahan.

Selama perjuangannya, para petani Darmakradenan telah banyak menikmati berbagai macam kekerasan, baik secara fisik maupun psikis dari orang-orang yang mengaku aparat. Salah seorang warga Darmakradenan yang saat itu sempat terkena pukulan menceritakan, “Kejadian itu terjadi sekitar pukul setengah lima sore, dengan memberikan aba-aba, ada letusan senapan selama beberapa kali. Pada waktu itu banyak yang terkena luka. Termasuk saya sendiri terkena pukulan POLRI sampai beberapa kali. Kami dikejar bahkan sampai di luar perkebunan. Dari warga tadinya mau dituntut, tapi dari Tim 11 setuju hanya dengan pengobatan dan permintaan maaf,” ungkap Zaenal yang juga selaku Sekretaris STAN AMPERA.

Pasca kejadian itu, warga yang pada saat itu terkena dampak kekerasan merasa trauma atas kejadian tersebut, termasuk Zaenal. Bahkan hal ini sempat menyebabkan ia tak ingin lagi berjuang. Ia pasrah. Namun tak butuh waktu lama, ia bangkit dari traumanya dan membulatkan tekadnya untuk berjuang kembali dengan rekannya sesama petani, sesama warga Darmakradenan untuk memperjuangkan tanah leluhurnya.

Terhadap obyek yang menjadi konflik, pernah diadakan penyelesaian secara mediasi oleh BPN, Pemkab dan DPRD Kab. Banyumas pada tahun 1999, akan tetapi dalam mediasi tidak dapat dicapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Perjuangan pun berlanjut melalui jalur hukum ke pengadilan. Sayangnya, hingga tingkat banding alhasil tetap dimenangkan oleh pihak PT. RSA. Atas hasil banding yang tidak memihak, masyarakat Darmakradenan sebenarnya sempat ingin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun di tengah jalan hal itu tak kunjung terealisasikan. Karena masyarakat beranggapan bahwa jika melalui hukum mereka pasti akan kalah.

“Kalau kita berbicara masalah hukum pasti kita tetap kalah. Kalau kita berbicara tentang hukum, yang mana sih masyarakat dijamin oleh hukum ini? Dimana masyarakat ini terjamin dalam berbicara hukum? Ga ada loh Mas. Hukum itu untuk melindungi orang-orang yang punya kekuasaan, orang-orang yang punya duit. Kesannya undang-undang itu baik, tapi realistasnya apa? Kalau kita berbicara ‘pisau’ pasti tajamnya ke bawah,” ujar Darsum selaku Wakil Ketua STAN AMPERA.

Konsekuensi hukum dengan tidak diajukannya kasasi, maka sejak 30 Maret 2004 atas perkara ini sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Atas dasar inilah kemudian masyarakat tidak lagi percaya pada hukum. Dan lebih memilih melalui jalur politik petani, yakni reclaiming lahan.

Menanggapi tindakan reclaiming yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, Kasi Sengketa Konflik dan Perkara BPN Banyumas, Suedi menyatakan “Tindakan reclaiming lahan yang dilakukan masyarakat, menurut kami dengan memperhatikan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (UUD 45) maka segala tindakan masyarakat di Indonesia harus berpedoman berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian jika masyarakat melakukan tindakan reclaiming lahan dengan tidak memperhatikan aturan dalam hukum yang berlaku, maka demi tegaknya negara hukum kepada masyarakat tersebut harus diberi tindakan hukum,” ujar Suedi melalui wawancara tertulis kepada LPM Pro Justitia.

Pelaksanaan Reforma Agraria di Banyumas

Mengutip dari bukunya Gunawan Wiradi yang berjudul “Prinsip-Prinsip Reforma”, Reforma Agraria atau Agrarian Reform, dalam pengertian terbatas dikenal sebagai Land Reform, dimana dalam salah satu programnya adalah redistribusi (pembagian) tanah, pemerataan akses produktif kepada rakyat, namun untuk Agrarian Reform tidak sekedar Land Reform tetapi mempunyai maksud yang lebih luas, menempatkan rakyat sebagai penentu kehidupan mereka sendiri dalam mengurus sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan kini dan masa yang akan datang.

Program Reforma Agraria secara bertahap di Indonesia dilaksanakan mulai tahun 2007, sebagaimana dikutip dari tulisan Susilo Bambang Yudhoyono dalam BPN RI “Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat“, yaitu mengalokasikan tanah bagi rakyat miskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan diperbolehkan untuk kepentingan rakyat, hal itu dilaksanakan dengan dasar prinsip Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat.

Reforma Agraria di Indonesia dapat berupa Land Reform Plus, yaitu terdiri dari Asset Reform dan Access Reform. Asset Reform adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Access Reform adalah kegiatan setelah masyarakat menerima tanah dengan mendapatkan Asset Reform selanjutnya masyarakat diberi akses dan integrasi dengan sistem ekonomi-politik dalam permodalan, pasar, teknologi, pendampingan peningkatan kemampuan sehingga memungkinkan masyarakat mampu mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan untuk meningkatkan kesejah-teraan hidupnya.

Namun ternyata dari prinsip Reforma Agraria tersebut, berdasarkan wawancara tertulis bersama pihak BPN Banyumas diperoleh data bahwa Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan prinsip Reforma Agraria tersebut dalam uraian di atas, di Kabupaten Banyumas sejak tahun 2007 sampai 2014 ternyata tidak ada.

Hukum yang seharusnya memberikan perlindungan, keamanan dan ketertiban kepada masyarakat, tapi nyatanya masyarakat justru tidak percaya akan adanya hukum. Lantas masih perlukah hukum itu ada ketika masyarakat tidak lagi percaya pada hukum? Ini menjadi bahan renungan kita sebagai mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum, dalam menyikapi persoalan yang terjadi di tataran implementasi. Bukan hanya belajar di tataran teori, melainkan juga kita harus melihat kondisi riil yang terjadi di masyarakat, dalam artian  mencari, memahami dan memberikan solusi yang tepat untuk masyarakat demi terciptanya bangsa Indonesia yang lebih baik.

Tulisan ini juga dipublikasikan di Majalah Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edisi XXIII/th.XXIII 2014
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger