Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta Solusinya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif

Kamis, 09 Mei 2013


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hukum adalah seperangkat peraturan tingkah laku yang berisi perintah/ anjuran, larangan, dan ada sanksi (upaya pemaksa) bagi para pelanggarnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia di masa ini dan masa yang akan datang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945 yang mempunyai tujuan negara yang berorientasi pada konsep negara kesejahteraan dengan sendirinya hukumnya akan mengarah pada pencapaian tujuan hukum tersebut.
Berdasarkan pasal II AP UUD 1945 yang sekarang telah berubah menjadi pasal I AP UUD 1945 amandemen telah mengisyaratkan kepada pembentuk undang-undang di Indonesia agar dapat mewujudkan cita-cita hukum nasional. Untuk dapat memenuhi cita-cita hukum diperlukan pembangunan hukum dan pembinaan hukum. Pembangunan hukum mengarah kepada pengertian pembentukan hukum baru dengan antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu, sedangkan pembinaan hukum berorientasi dengan melakuakan sebuah pembinaan terhadap hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan dilakukan sebagai langkah yang strategis untuk mencapai pembangunan hukum nasional yang tidak lagi mengenal penggolongan penduduk dan bersifat unifikasi.
Hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat ditandai dengan adanya perubahan masyarakat dan perubahannya tersebut sudah terarahkan atau diarahkan tercapainya politik hukum dibidang hukum yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.
Dalam Hukum Waris politik hukumnya dimulai dengan melakukan perubahan pada aspek hukum keluarga dan perkawinan melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Maka untuk penyusunan hukum nasional diperlukan adanya konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah Unifikasi Hukum yang terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur hukum adat guna pembinaan hukum  waris nasional dalam Hukum Waris Adat, oleh karenanya bahan-bahan hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat mengetahui dari berbagai system dan asa hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan nusantara ini dapat di cari titik temu.dan kesesuainya dengan kesadaran hukum nasional
Menurut perkiraan kita kesadaran hukum nasional yang menyangkut hukum waris adat adalah pada tempatya apabila hak-hak kebendaan atau warisan tidak lagi dibedakan antara pria dan wanita untuk sebagian besar bangsa Indonesia dalam hal ini kita berada pada garis demokrasi antara hukum adat dengan Islam yang mana hukum Islam itu pada sebagian besar masyarakat yang beragama Islam belum berlaku sebagaimana mestinya. Di sebagian besar masyarakat kecuali di beberapa daerah atau pada kelompok terbatas masih berpegang pada hukum waris adat kemudian mengenai hukum waris adat itu sendiri terhadap sistem dan asas-asas hukumnya yang berbeda-beda.

B.       Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di ambil rumusan masalah :
1.    Bagaimanakah Perkembangan Politik Hukum di Indonesia ?
2.    Apa pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap Hukum Waris Positif ?
3.    Apa solusi yang dapat diambil ?


PEMBAHASAN
A.           Perkembangan Politik Hukum
Dilihat dari perubahan masyarakat karena pengaruh hukum, maka kajian ini sudah menyentuh sudut pandang Politik Hukum Nasional. Menurut Bellefroid politik hukum adalah suatu disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana merubah ius constitutum menjadi ius constituendum, atau menciptakan hukum baru untuk mencapai tujuan mereka. Selanjutnya kegiatan politik hukum meliputi mengganti hukum dan menciptakan hukum baru karena adanya kepentingan yang mendasar untuk dilakukan perubahan sosial dengan membuat suatu regeling (peraturan) bukan beschiking (penetapan).
Dalam kajian politik hukum dengan sendirinya akan memperhatikan fungsi hukum, seperti yang disebutkan oleh Roscou Pond:
1.        Law as a tool of social control, yaitu hukum sebagai alat pengendali masyarakat. Artinya hukum berfungsi sebagai penjaga tata tertib masyarakat.  Apabila ada yang melanggar akan dikenai sanksi sebagai wujud dari fungsi kontrol sosialnya. Dalam hal ini hukum berposisi di belakang masyarakat.
2.        Law as a tool of social engineering, yaitu hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat. Dalam hal ini hukum berposisi berada didepan masyarakat, hukum membawa dan menggerakkan masyarakat untuk berubah dan bergerak kearah yang telah ditentukan.

Selain kedua fungsi hukum tersebut di atas, oleh Muchsan ditambah dengan satu fungsi lagi, yaitu sebagai law as a tool of social empowering, yaitu hukum berfungsi sebagai yang memberdayakan masyarakat, agar masyarakat ikut berperan/ berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini hukum berposisi di dalam masyarakat.
 Dalam politik hukum ada salah satu fungsi hukum yang menonjol, yaitu sebagai law as a tool of social engineering. Artinya hukum sebagai produk politik hukum akan menjadi sangat berpengaruh dalam perubahan masyarakat, sebab melalui hukum tersebut masyarakat berubah secara menyeluruh pola perilakunya untuk menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang diberlakukan.
Hukum waris di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka-ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS Jo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
-    Golongan Eropa
-    Golongan Timur Asing
-    Golongan Bumi Putera.
Dan untuk hukum waris positif atau hukum waris yang sedang berlaku di Indonesia terbagi menjadi 3 macam hukum waris. Hukum waris tersebut adalah :
-    Hukum waris adat.
-    Hukum waris Islam.
-    Hukum waris BW/ perdata.

Dalam pemakaian hukum waris di setiap golongan-golongan tersebut diberlakukan berbeda-beda, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1.    Golongan Eropa : menggunakan hukum waris BW/ perdata.
2.    Golongan Timur Asing :
- Cina : menggunakan hukum waris BW/ perdata.
- Bukan : Cina menggunakan hukum waris adat.
3.    Golongan bumi putera : menggunakan hukum waris adat/ hukum waris Islam.
  
Dasar hukumnya dan juga dapat diambil beberapa teaching point yaitu :
1.    Secara normatif bahwa hukum waris adalah bagian dari tata hukum Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia.
2.    Adanya ketentuan pasal 163 IS yo pasal 131 IS, yang dimana pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pergolongan rakyat dan pluralisme hukum. Dan juga dalam pasal-pasal ini politik hukum ikut diberlakukan.

Atas pertimbangan secara historis sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ternyata terdapat pergeseran dan perbedaan arah politik hukumnya. Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda Politik Hukumnya terlihat pada adanya Politik Pergolongan Rakyat, yang dibagi dalam 3 golongan yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Bumi Putera. Selanjutnya keadaan tersebut diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan sedikit-sedikit dan secara bertahap dilakukan perubahan ke arah hanya ada 1 golongan masyarakat yaitu Masyarakat Nasional.
Arah politik hukum dari pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat tersebut dan adanya perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun kewenangan Pengadilan Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan pada adanya Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir yang tidak lagi didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada hak yang dimiliki Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi lain apabila menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan kita akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia terdapat banyak sekali corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat pula adanya aneka ragam agama yang dianut oleh masyarakat. 

B.       Pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap berlakunya Hukum Waris Positif
Dengan dihapuskan penggolongan warga negara Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1 (satu) golongan warga negara            yakni golongan warga negara Indonesia tanpa diembel-embeli, maka sudah pada tempatnya berlaku pula hukum kodifikasi untuk golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya sampai saat ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan Nasional belum juga terwujud.
Suasana pluralistis Hukum Kewarisan, kenyataannya masih tetap mewarnai sistem dan penerapan Hukum Kewarisan di Indonesia. Pada hal sebagai negara yang telah lama merdeka sudah pada tempatnya apabila Hukum Kewarisan yang berlaku di dalam masyarakat berbentuk kodifikasi dan unifikasi. Karena dengan hukum kodifikasi dan unifikasi dapat menjadi sarana efektif di dalam mempererat  rasa  persatuan  dan  kesatuan bangsa, di samping untuk menciptakan kepastian dan ketertiban hukum di dalam masyarakat tanpa meninggalkan prinsip-prinsip atau kaedah-kaedah agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat.
Agar lebih memudah memahami bagaimana pengaruh dari perkembangan poltik hukum, kita dapat menganalisanya melalui produk hukumnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 7 Tahun 2009.

1.         Pengaruh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dalam hal ini berlaku asas “Lex Posterior Derogate Lex Priori“, yaitu bahwa undang-undang baru membatalkan undang-undang terdahulu sejauh undang- undang tersebut mengatur hal yang sama.
 Dan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut maka tidak diberlakukan lagi hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata. Dan konsekuensinya adalah bagi orang- orang yang melakukan perkawinan sebelum diberlakukan UU Nomor 1 Tahun 1974 mereka tunduk pada sistem hukum waris KUHPerdata (BW), dan bagi orang- orang yang melakukan perkawinan setelah adanya UU No 1 Tahun 1974 maka tidak diberlakukan lagi hukum waris menurut KUHPerdata.
Indonesia mengenal tiga macam sistem hukum waris sebagai hukum positif yaitu Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Adat dan Sistem Hukum Waris Islam. Hal ini berdasarkan atas ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, secara yuridis yang dimaksud dengan peralihan yaitu berlaku sementara sepanjang belum ditentukan hukum yang baru atas dasar UUD 1945 sebagai Hukum Nasional. Sistem hukum waris positif saat ini hanya berlaku sementara atas dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sampai terbentuk peraturan baru yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Sebagai suatu sistem, hukum waris mempunyai hubungan yang bersifat sistemik dan sebagai akibat dari Sistem Hukum Keluarga dan dan Hukum Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Kedudukan suami Isteri di dalam perkawinan dan Harta Benda Perkawinan yang berbeda dengan prinsip KUH Perdata (BW).
Sejak berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketiga Sistem Hukum Waris Positif posisinya mulai terlihat bersifat sementara, terutama Sistem Hukum Waris BW. Sebagai konsekuensinya, Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUH Perdata (BW) dinyatakan tidak berlaku lagi sejak saat di undangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW) hanya berlaku bagi orang yang semula tunduk kepada KUH Perdata (BW) yang melangsungkan perkawinannya sebelum di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan mereka yang yang melakukan perkawinan seteleh di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak lagi diberlakukan ketentuan hukum waris menurut KUH Perdata (BW). Untuk Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat masih berlaku sebagai hukum positif karna secara historis kedua sistem tersebut telah lama hidup dan berlaku dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam bidang Hukum waris kedua sistem tersebut memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita hukum yaitu sebagai sumber hukum terbentuknya Hukum Nasional. Berbeda dengan posisi Sistem Hukum Waris KUH Perdata (BW), Sistem Hukum Waris Islam dan Sistem Hukum Waris Adat kedepan akan menjadi sumber hukum potensial dalam terbentuknya Hukum Waris Nasional.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan salah satu bentuk produk Hukum Nasional yang bersumber dan berdasarkan atas UUD 1945 dan Pancasila. Berkaitan dengan bidang hukum waris, maka dalam hal ini pembentuk Undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 1974  melakukan perubahan politik hukum terhadap aspek hukum keluarga dan perkawinan.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga, dan keluarga akan menjadi dasar pembentukan masyarakat nasional (basic sosial structure). Dengan di tetapkannya politik hukum di bidang hukum keluarga dan perkawinan maka prinsip-prinsip dasar keluarga yang di berlakukan secara nasional merupakan nilai baru yang menjadi arah dalam melakukan sosial engeneering. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan masyarakat secara revolusioner yang berorientasi pada politik hukum nasional yaitu unifikasi hukum dan tidak adanya pergolongan penduduk dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara Indonesia sehingga tidak lagi berorientasi pada politik hukum Pemerintahan Hindia Belanda yaitu pluralisme hukum dan adanya pergolongan penduduk di Indonesia.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan bentuk unifikasi hukum berdasarkan politik hukum nasional dan di berlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia. secara normatif terjadi perubahan revolusioner dan mendasar terhadap sistem hukum perkawinan dan struktur hukum keluarga masyarakat Indonesia karena Undang-undang tersebut di berlakukan secara serentak bagi seluruh warga negara Indonesia sejak saat di berlakukan.
Dengan telah di berlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk yang beragama Islam, maka para ulama membentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil dari interpretasi hukum mengenai hukum keluarga dan perkawinan serta hukum waris dengan berlandaskan Inpres No. 1 Tahun 1991.
UU No. 1 tahun 1974 ini sangat berarti dalam perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, karena selain menyelamatkan keberadaan Peradilan Agama sendiri, sejak disahkan UU No. 1 tahun 1974 tentanng Perkawinan jo. PP No. 9 tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaanya, maka terbit pulalah ketentuan Hukum Acara di Peradilan Agama, biarpun baru sebagian kecil saja. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampak menjelaskan kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan dan penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan dari Peradilan Umum.
Sebelum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Hukum Waris Positif masih berorientasi pada politik hukum Pemerintah Hindia Belanda yaitu, adanya pluralisme hukum dan pergolongan penduduk. Satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara warisan adalah Pengadlan Negeri, opsi hukum atau choice of law terjadi karena golongan penduduk dari masyarakat Bumi Putera yang beragama Islam berada pada dua wilayah hukum, yaitu Hukum Islam dan Hukum Adat.
Jika mereka tidak menggunakan haknya untuk melakukan pilihan hukum maka oleh Pengadilan Negeri akan diterapkan Hukum Adat dan dalam pandangan Pemerintah Hindia  Belanda Hukum Islam bukan Undang-undang melainkan hanya bagian dari Hukum Adat. dalam hal ini para pihak dapat mengajukan permohonan pada hakim agar perkara warisnya di periksa dan di adili dengan menggunakan Hukum Islam. Pada waktu itu Pengadilan Agama hanya mempunyai kewenangan dalam aspek NTR (Nikah, Talak, dan Rujuk).
Dalam kaitannya dengan opsi hukum atau choice of law maka persyaratan yang harus di penuhi pada saat itu untuk adanya hak melakukan pilihan hukum ialah ;
1)   Semua pihak dalam perkara yang di ajukan harus beragama Islam, Hukum Waris Islam hanya di terapkan bagi orang-orang yang beragama Islam saja, jika salah satu pihak tidak beragama Islam maka dalam perkaranya akan diterapkan Hukum Waris Adat.
2)   Semua pihak sepakat perkara warisnya diperiksa dan diadili dengan Hukum Waris Islam. dalam hal ini perkara perdata oleh hukum diberikan pilihan hukum untuk memilih hukum yang merefleksikan rasa keadilannya.

Konsep keluarga parental-bilateral sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 telah menggambarkan arah yang jelas dari politik hukum Indonesia. Bahwa di dalamnya terdapat Asas Monogami dan Asas Tujuan Perkawinan di mana:
a)    Suami Isteri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi.
b)   Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, dan untuk pengembangan kepribadian itu Suami Isteri harus saling bantu-membantu.
c)    Tujuan akhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan materiil.

Arah politik hukum dari pemerintah Republik Indonesia dalam menghadapi masih adanya golongan rakyat dan adanya perkembangan kewenangan Pengadilan Negeri maupun kewenangan Pengadilan Agama, khususnya di bidang Hukum Kewarisan yang dihadapkan pada adanya Pemilihan Hukum, ternyata menggambarkan adanya cara berfikir yang tidak lagi didasarkan pergolongan rakyat, akan tetapi berorientasi pada hak yang dimiliki Pengadilan Negeri maupun oleh Pengadilan Agama. Dan di sisi lain apabila menyinggung pembicaraan tentang Hukum Adat pandangan kita akan tertuju pada gambaran adanya masyarakat setempat yang di Indonesia terdapat banyak sekali corak dan bentuk dari masyarakat setempat dan terdapat pula adanya aneka ragam agama yang dianut oleh masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang tentang Peradilan Agama maka hal itu semakin menegaskan bahwa Politik Hukum di Indonesia tidak lagi mengenal Penggolongan Penduduk dengan diperluasnya kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama untuk memeriksa, dan menyelesaikan pembagian warisan bagi WNI yang beragama Islam, dan kepada mereka diperkenalkan Opsi Hukum (pasal 49 Undang-Undang No 7 tahun 1989).
Tetapi kemudian dengan lahirnya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka semakin menambah kejelasan Politik Hukum di Indonesia/Nasional dengan mempertegas diterapkannya Pengadilan Agama dengan menghilangkan Opsi Hukumnya.

2.         Pengaruh Undang-Undang No 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama sebagai produk unifikasi hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia
Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah. 

Sebelum berlakunya UU tentang Peradilan Agama
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa perkara waris menurut Hukum Waris KUH Perdata/BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Dan berlakunya Hukum Waris Islam di sini terjadi karena adanya permohonan dari para pihak agar perkara mereka diperiksa dan diputus dengan menggunakan Hukum Waris Islam.

Sesudah berlakunya UU tentang Peradilan Agama
Setelah berlakunya Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama peta Hukum Waris Positif di Indonesia menjadi diinterpretasi menjadi:
ร˜ Hukum Waris BW berlaku bagi WNI yang beragama non Islam, baik yang berasal dari keturunan Eropa maupun yang berasal dari keturunan Tionghoa. Dan Pengadilan yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang waris adalah Pengadilan Negeri.
ร˜ Hukum Waris Adat berlaku bagi WNI Bumi Putera atau Indonesia Asli yang beragama non-Islam. Dan Pengadilan yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang waris adalah Pengadilan Negeri.
ร˜ Hukum Waris Islam berlaku bagi WNI keturunan Eropa, keturunan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing lainnya, Bumi Putera atau Indonesia Asli yang beragama Islam. Dan Pengadilan yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang waris adalah Pengadilan Agama.

Pengadilan Negeri hanya berwenang memeriksa perkara waris menurut Hukum Waris KUH Perdata/BW bagi orang yang semula tunduk pada KUH Perdata/BW dan Hukum Waris Adat.
Sedangkan Pengadilan Agama menjadi berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam. Sehubungan bagi orang-orang yang beragama Islam selama ini telah terbiasa dengan Hukum Waris Adat sebagai kebiasaan mereka selama ini, maka persoalan yang timbul diberi jalan keluar dalam Kompilasi Hukum Islam.
UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan dalam pasal 49 bahwa: “Pengadilan agama berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara waris bagi orang yang beragama Islam.”

Dari bunyi pasal di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa:

1)      UU ini berorientasi tidak ada penggolongan rakyat.
2)      Siapa yang dimaksud dengan mereka yang beragama Islam.
3)      Dikenalkan opsi hukum / pilihan hukum.
-     Adanya hak memilih, jadi pembentuk undang- undang menitikberatkan pada aspek keadilan bukan pada aspek kepastian.
-     Keadilan dipandang adil oleh yang bersangkutan.
-     Implementasi opsi hukum, yaitu memilih hukum dari waris Islam dan waris adat. Memilih 1 dari 2 opsi hukum, karena historisnya orang Indonesia dahulu ada golongan.
4)      Argumentasi opsi hukum itu apa.
5)      Permasalahan keadilan.
-     Masalah yang timbul dari keadilan, antara lain : ahli waris laki- laki dan perempuan, ahli waris janda dan anak, ahli waris anak dan anak angkat.

Mengenai opsi hukum / pilihan hukum ini oleh Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 2 tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No 7 tahun 1989, khususnya pada point 4.2 yang berbunyi: “Perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak di luar badan Peradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat yang Hukum Warisnya tunduk pada Hukum Adat dan/atau Hukum Islam, atau tunduk pada Hukum Perdata Barat/BW dan/atau Hukum Islam di mana mereka boleh memilih Hukum Adat atau Hukum Perdata Barat/BW yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau memilih Hukum Waris Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.

C.      Solusi
Dari produk hukum yang mencerminkan politik hukum nasional dan berpengaruh terhadap Hukum Waris Adat dan terlihat sebagai hukum yang mengubah masyarakat ( social engineering) antara lain :
Upaya Kodifikasi dan unifikasi Hukum Kewarisan secara bilateral harus diartikan sebagai wujud pembinaan hukum kekeluargaan nasional, yang pada  tataran selanjutnyberfungsi untuk menyempurnakan tatanan hukum nasional dengamelalui penciptaan perangkat peraturan perundang-undangan yang sesuatuntutan zaman. Karena itu, dalam upaya pembentukan hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral, dengan pola differensiasi sebagai kerangk pembinaan Hukum Nasional harus mengandung setidak-tidaknya 3 (tiga) dimensi yaitu:
  1. Dimensi Pemeliharaan berarti, tatanan hukum kewarisan yang bersifat prinsipil berdasarkan agama dan kepercayaan masyarakat yang tidak dapadisatukan harus tetap dipeliharadihargai dan dihormati agar tidak timbul kekosongan   hukum, seperti keberadaan harta pusaka, kedudukan anak angkat pada masyarakat tertentu dan sebagainya.
  1. Dimensi Pembaharuan berarti, dalam usaha meningkatkan dan menyempurnakan  sistem hukum kewarisan yang terasa pluralistis   itu, karena berasal dari ke tiga (3) sistem Hukum Kewarisan  menjad hukum  kewarisa nasiona haru dilakukan terutam pada  bagian - bagian  yangkemungkinannya   dapat disatukan (diseragamkan), seperti; pengertian hukum kewarisan, unsur dan syarat terjadinya pewarisan, harta warisan, serta beberapa asas yang memiliki  kesamaan   dari    ke  tiga (3) sistem kewarisan,  seperti asas individual; asapenderajatanasas keadilan berimbang;  asabilateralasas hubungan darah dan perkawinan; maupun asas yang kelihatanberbeda namun dapat saling melengkapi sepertasaplaatvervulling/mawaly (KUPerdata danhukum kewarisan Islam) dengan asas musyawarah dalam hukum kewarisan adat; asas individual dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan hukum kewarisan Islam dengan asas kollektif dalamhukum kewarisan adat, dan sebagainya, sehingga akan membuat kuat substansi dan sistem hukum kewarisan nasional secara bilateral nantinya.
  2. Dimensi Penciptaan, pada dimensi ini diciptakan peraturan perundang-undangan yang baru di bidang Hukum Kewarisan Nasional yang sebelumnya belum pernah ada guna menghadaptuntutan kemajuan  zaman dan pengaruh  dari masyaraka dunia yang lebibersifat  terbuk atas  nilai -nilai bar di dalam  masyaraka modern seperti;  tuntutan  di dalam kesetaraan pria dan wanita, dan sebaliknymenolak  ketidakadilan genderpenegakan Hak Asasi Manusia, dan sebaliknya menolak akan sifat diskriminatif.
Garis Politik Hukum Nasional untuk dewasa ini menghendaki  terbentuknya kodifikasi dan unifikasi pada tiap-tiap bidang hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Adapun unifikasi adalah penyatuan atau  penyeragaman jenis hukum tertentu, sehingga jenis   hukum   tertentu   itu berlaku untuk seluruh  warga  negara  (Sudarsono, 1999:528). Unifikasi hukum terkait dengan upaya pembentukan hukum pada bidang hukum tertentu menjadi seragam, oleh karena itu unifikasi dapat dilakukan melalui jalan kodifikasi dan pembaharuan hukum.
Kodifikasi hukum dilakukan untuk memenuhi dan mencapai tujuan tertentu, (Soekanto, dan Mustafa Abdullah, 1980:74), yaitu; pertama, untuk mencapai kesatuan dan keseseragaman hukum (rechseenheid); kedua, untuk mencapai kepastian hukum (rechszekerheid); dan yang ketiga, untuk penyederhanaan hukum (rechsvereenvoudiging). Di dalam mengadakan kodifikasi hukum, maka ketiga dari tujuan minimal kodifikasi seperti dikemukakan di atas tidak berdiri sendiri, karena tujuan   kodifikasi tidak  akan  mungkin  tercapai,  bila  hanya satu  atau  dua  tujuan  yang  dalam kenyataan benar-benar terwujud (Soekanto, dan Mustafa Abdullah, 1980: 74).
Dalam konteks kodifikasi Hukum Kewarisan, maka tujuan yang dimaksudkan (A . Nuzul, Tesis, 2001 : 132) adalah, pertama, agar tercipta keseragaman pedoman bagi masyarakat dalam  waris  mewaris;   kedua,  agar  lahir nilai-nilai hukum Kewarisan sesuai yang diinginkan  secara  bersama  dari kesadaran hukum masyarakat; dan ketiga, agar ada pedoman secara seragam sebagai rujukan bagi aparat penegak hukum (Hakim Peradilan) di Indonesia.
Keinginan untuk kodifikasi dan unifikasi pada  bidang Hukum Kewarisan adalah sesuai dengan amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara telah tertuang di dalam berbagai Ketetapan MPR (MPRS) misalnya pada TAP MPRS No. II/MPRS/1960, TAP No. IV/MPR/1973, TAP MPR.No. IV/MPR/1978, TAP MPR. No. II/MPR/1983, dan TAP MPR. No. IV/MPR/1999).   
Misalnya di dalam TAP MPR. No. IV/MPR/1973 disebutkan bahwa: “Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan   bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
1.        Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan,kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang–bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
2.        Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing - masing.
3.        Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
Kemudian pokok-pokok kebijaksanaan dalam   bidang   pembinaan   hukum selanjutnya dimuat dalam setiap rencana  pembangunan nasional di bidang hukum tertentu beserta proyeknya.
Selanjutnya di dalam TAP MPRS. No. II/MPRS/1960  pada lampiran A   angka 402 huruf c  2  dan  4  dalam nomor  38  disebutkan  bahwa; “Mengenai penyempurnaan Undang-Undang Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat, dan lain- lainnya” (Panitia Pembina Djiwa Revolusi: Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, Bagian Ringkasan TAP MPRS.No. II/MPRS/1960: 83).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya TAP MPRS. No. II/MPRS/1960 ini merupakan dasar hukum di dalam pembentukan  Hukum Kewarisan Nasional, meskipun TAP MPRS ini sudah dicabut berdasarkan TAP MPRS No. XXXVIII/1968, akan tetapi secara substansi hukum dalam membentuk hukum kewarisan nasional berdasarkan sistem bilateral, semangat TAP MPRS No. II/MPRS/1960 di atas tetap relevan.
Disadari adanya, bahwa sampai saat ini Hukum Kewarisan yang berlaku bagi masyarakat Indonesia masih bersifat pluralistis, yaitu:
1.        Hukum Kewarisan yang terdapat dalam Hukum Adat dan berlaku bagi golongan Indonesia Asli (bumiputra).
2.        Hukum Kewarisan yang terdapat di dalam Hukum Islam dan berlaku bagi golongan Indonesia Asli yang bergama Islam dan golongan–golongan bangsa lain yang beragama Islam di luar dari golongan  Indonesia  asli yang bergama Islam.
3.        Hukum Kewarisan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa, orang-orang Timur Asing Tionghoa dan orang-orang  Timur asing lainnya, serta orang-orang Indonesia asli yang melakukan penundukan diri pada Hukum Eropa.

Menyusun Hukum Kewarisan Nasional untuk seluruh warga negara, memang terasa berat dan memerlukan waktu serta kehati-hatian, mengingat akan sifat pekanya bidang hukum ini karena erat hubungannya dengan faktor agama, kepercayaan dan kebudayaan masyarakat. Selain  itu,  agar  tidak  menimbulkan  keresahan  di dalam  masyarakat  di mana nantinya  bidang  hukum  ini berlaku.
Lebih dari itu pula sistem kekeluargaan yang berlaku bagi penduduk Indonesia, tidak hanya bersifat bilateral atau parental  melainkan  terdapat juga sistem kekeluargaan yang bersifat patrilineal dan matrilineal. Pada hal sistem kekeluargaan atau kekerabatan itu sendiri mempengaruhi sifat hukum kewarisan, sebagaimana dikemukakan  Hazairin (1982: 11) bahwa “sistem kekeluargaan  yang berlaku di dalam suatu masyarakat akan mencerminkan hukum kewarisan dan hukum perkawinannya.
Gambaran Hukum Kewarisan yang masih bersifat pluralistis itu, adalah sebagai akibat  dari keberanekaragaman hukum (Hukum Adat, Hukum Eropa, dan Hukum Islam) yang berlaku bagi setiap penduduk (masyarakat) di Indonesia, di samping karena kebijakan politik Pemerintah Penjajah sejak lama pernah membagi-bagi  penduduk  Indonesia  ke dalam berbagai golongan.
Pada zaman Hindia Belanda, penduduk Indonesia (Hindia Belanda) dibagi kepada 3 (tiga) golongan sesuai dengan Pasal 163 IS tahun 1925  yang  mulai  berlaku  1  Januari 1926 yaitu Golongan EropaGolongan Timur Asing, dan Golongan Bumiputra (Soepomo, 1997: 25).
Akan tetapi pada saat ini penduduk Indonesia telah diatur berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan RI Nomor  62 Tahun  1958  j.o UU.No.  3 Tahun 1976;  j.o  UU.  RI  No.  12  Tahun  2006  yang pada intinya mengatur bahwa  penduduk Indonesia hanya dibedakan kepada; pertama,   Warga   negara Indonesia dan kedua, Orang Asing (penduduk yang bukan warga negara Indonesia). Dengan undang-undang  tersebut  berarti  di Indonesia  saat ini   sudah   tidak ada lagi penggolongan warga negara seperti masa sebelum Undang-Undang  tersebut dibentuk. Apalagi dengan adanya penegasan melalui Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 menyangkut hal untuk tidak menggunakan penggolongan-penggolongan  warga negara Indonesia, serta Surat   Edaran bersama Departemen Kehakiman RI dan Departemen Dalam  Negeri No. Pemdes 51/1/3J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 perihal Perlaksanaan Keputusan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966.
 Persoalan keadilan sebagai akibat diperkenalkannya pilihan hukum untuk menyelesaikan perkara waris sehubungan dengan perkembangan politik hukum nasional yang tidak lagi mengenal pergolongan penduduk, akan tetapi masih adanya pluralisme hukum waris dan belum terbentuknya hukum waris nasional, maka oleh pembentuk undang–undang diatasi dengan melakukan perubahan pada pasal 49 ayat 1 Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dengan meniadakan opsi hukum atau choice of law pada pasal 49 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
Peta hukum waris positif di Indonesia menjadi di interpretasi menjadi :
·      Hukum waris BW berlaku warganegara Indonesia yang beragama non-Islam baik keturunan eropa maupun keturunan tionghoa dan menjadi kewenangan pengadilan negeri.
·      Hukum waris adat berlaku warganegara Indonesia Bumiputera atau Indonesia asli yang beragama non-Islam dan menjadi kewenangan pengadilan negeri.
·      Hukum waris Islam berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan eropa, keturunan timur asing tionghoa dan timur asing lainnya, bumiputera atau Indonesia asli yang beragama Islam dan menjadi kewenangan pengadilan agama.

Disisi praktis persoalan keadilan dalam penerapan hukum waris positif di Indonesia telah ada pemecahannya, akan tetapi disisi akademis muncul persoalan baru juga masih pada aspek keadilan, yaitu dengan telah dipilihnya keputusan politik yang dijelmakan dalam politik hukum yang menjadi dasar pemikiran pembentuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah secara revolusioner ada pemaksaan berlakunya kaidah hukum waris Islam bagi seluruh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dilihat dari aspek empiris kesadaran hukum waris BW bagi warga negara Indonesia keturunan eropa dan keturunan tiong hoa dan kesadaran hukum waris adat bagi warga negara Indonesia Bumiputera atau Indonesia asli sudah internal menjadi kesadaran hukum secara turun temurun yang telah menjelma menjadi perasaan hukum masyarakat yang telah berjalan ratusan tahun atau ribuan tahun, dengan seketika (revolusioner) harus menggunakan hukum waris Islam untuk menyelesaikan perkara waris diantara orang – orang yang beragama Islam. Kemudian berlakunya hukum waris BW bagi warganegara Indonesia keturunan eropa atau keturunan tionghoa yang beragama Islam hanya untuk pembagian warisan tanpa sengketa atau musyawarah diluar pengadilan, demikian juga hukum waris adat bagi warga negara Indonesia Bumiputera atau Indonesia asli yang beragama Islam hanya untuk pembagian warisan tanpa sengketa atau secara musyawarah dan terjadi diluar pengadilan. Atau secara ekstrim dilihat dari aspek kewenangan mengadili perkara waris, pengadilan negeri melayani proses penyelesaian sengketa waris bagi warga negara Indonesia non Islam ( minoritas ) dan pengadilan agama melayani proses penyelesaian sengketa waris bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam ( mayoritas ). 

KESIMPULAN

1.        Perkembangan Politik Hukum terhadap hukum waris positif di Indonesia
Politik hukum di Indonesia mengalami perkembangan, dari yang awalnya menganut konsep Penggolongan Penduduk dan Pluralisme Hukum berkembang menjadi hanya ada 1 Golongan Penduduk dan Unifikasi Hukum.

2.        Pengaruh Perkembangan Politik Hukum terhadap Hukum Waris Positif
Dengan dihapuskan penggolongan warga negara Indonesia berdasarkan keturunan atau class menjadi hanya hanya 1 (satu) golongan warga negara yakni golongan warga negara Indonesia tanpa diembel-embeli, maka sudah pada tempatnya berlaku pula hukum kodifikasi untuk golongan warga negara tersebut. Akan tetapi di dalam kenyataannya sampai saat ini cita-cita untuk membentuk Hukum Kewarisan Nasional belum juga terwujud.

3.        Solusi
Persoalan keadilan sebagai akibat diperkenalkannya pilihan hukum untuk menyelesaikan perkara waris sehubungan dengan perkembangan politik hukum nasional yang tidak lagi mengenal pergolongan penduduk, akan tetapi masih adanya pluralisme hukum waris dan belum terbentuknya hukum waris nasional, maka oleh pembentuk undang–undang diatasi dengan melakukan perubahan pada pasal 49 ayat 1 Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dengan meniadakan opsi hukum atau choice of law pada pasal 49 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. 

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta : Rineka Cipta.
Ahlan Sjarif, Surini. 1986. Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Jakarta : Ghalia Indonesia.
E.M. Meyers, hal. 1; H.F.A. Vollmar, hal 284; Jac Kalma, Privaatrecht, handeling by the studie van het Nederlands Privaatrecht”, cetakan ketiga
Hadikusuma, Hilman. 1996. Hukum Waris Indonesia Menurut : Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Cet. II.
Mohd. Idris Ramulyo. 1996. Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta : Sinar Grafika.
Satrio, J. 1992. Hukum Waris. Bandung : Alumni.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger