1. Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
v Model
Hubungan Kewenangan
Cenderung menganut “The Agency Model” (Model Agensi). Karena pada dasarnya Pemerintah
Daerah hanya sebagai Agensi / pelaksana kebijakan / perwakilan dari Pemerintah
Pusat. Segala tindakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus atas
persetujuan dari Pemerintah Pusat. Dan yang menanggung pertanggungjawaban
adalah Pemerintah Pusat itu sendiri.
v Model
Otonomi
UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur
pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di
daerah. Prinsip yang dipakai bukan “otonomi
yang riil dan seluas-luasnya”,
tetapi “otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI,
dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi.
Sehingga UU No. 5 Tahun 1974 ini lebih cenderung
menganut “Otonomi Terbatas” daripada
“Otonomi Luas”. Seperti yang
tercantum dalam pasal 68 UU No. 5 Tahun
1974 bahwa semua kebijakan yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah baik berupa Peraturan Daerah maupun Keputusan
Kepala Daerah baru bisa diberlakukan setelah ada pengesahan pejabat yang
berwenang, sehingga Pemerintah Pusat dapat lebih mudah mengintervensi
Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakannya tersebut.
2. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
v Model
Hubungan Kewenangan
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan
daerah provinsi hanya me-miliki kewenangan yang terbatas sedangkan daerah
kabupaten dan kota memiliki kewenangan yang luas. Sehingga lebih condong
menganut “The Relative Autonomy Model”
karena disini daerah sudah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam hal
mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri (pasal 7 UU No. 22 Tahun
1999). Sebagai contoh dalam hal membuat kebijakan atau aturan sendiri sehingga
meminimalisir intervensi dari Pemerintah Pusat.
Pembagian Kewenangan urusan pemerintahan,
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dapat dijumpai dalam Bab IV yang mengatur
tentang ke-wenangan daerah. Pasal 7 UU tersebut menegaskan bahwa :[1]
(1)
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan
dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ke-wenangan
bidang lain.
(2) Kewenangan
bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
v Model
Otonomi
Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengatur
bahwa daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah
provinsi. Adapun daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi.
Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi
sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah
otonom penuh. Sehingga dengan kata lain UU No. 22 Tahun 1999 menganut “Otonomi Luas, nyata dan bertanggungjawab”
meskipun otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
kota.
Berdasarkan
pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 yang telah memberikan kewenangan yang cukup luas
kepada daerah otonom, hal ini mencerminkan dianutnya “Otonomi Luas”[2]
3. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
v Model
Hubungan Kewenangan
UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi
menggunakan istilah kewenangan tapi urusan pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22
Tahun 1999 yang tidak secara spesifik menentukan urusan pemerintahan yang menjadi
kewe-nangannya, UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan provinsi secara jelas sama dengan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan kabupaten/kota. Hal yang mem-bedakan hanya lingkupnya saja
dilihat dari kriteria eksternalitas, akun-tabilitas, dan efisiensi. Sehingga
menurut saya UU No. 32 Tahun 2004 ini lebih condong menganut “The Relative Autonomy Model”
v Model
Otonomi
Pada dasarnya konsep Otonomi yang
dipakai oleh UU No. 32 Tahun 2004 hampir sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 yaitu
mengatur bahwa daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi
adalah provinsi. Adapun daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi.
Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi
sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah
otonom penuh. Sehingga Model Otonomi yang dianut lebih condong menganut “Otonomi Luas”. Karena didalam ketentuan
Undang-Undang ini mengatur bahwa pada prinsipnya otonomi daerah yang dianut
adalah “Otonomi Luas, nyata dan
bertanggungjawab”
- Otonomi luas : daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
- Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yg senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dg potensi dan kekhasan
daerah.
- Otonomi bertanggungjawab :
dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan
kesra.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !