ANALISIS UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERKAIT “MODEL HUBUNGAN KEWENANGAN DAN MODEL OTONOMI YANG DIANUT”

Senin, 04 Juni 2012


Oleh :
Sigit Budhiarto
E1A0 10234
Kelas C

1.    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
v Model Hubungan Kewenangan
Cenderung menganut “The Agency Model” (Model Agensi). Karena pada dasarnya Pemerintah Daerah hanya sebagai Agensi / pelaksana kebijakan / perwakilan dari Pemerintah Pusat. Segala tindakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus atas persetujuan dari Pemerintah Pusat. Dan yang menanggung pertanggungjawaban adalah Pemerintah Pusat itu sendiri.

v Model Otonomi
UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai bukan “otonomi yang riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi.
Sehingga UU No. 5 Tahun 1974 ini lebih cenderung menganut “Otonomi Terbatas” daripada “Otonomi Luas”. Seperti yang tercantum dalam pasal 68 UU No. 5 Tahun 1974 bahwa semua kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah baik berupa Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah baru bisa diberlakukan setelah ada pengesahan pejabat yang berwenang, sehingga Pemerintah Pusat dapat lebih mudah mengintervensi Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakannya tersebut.

2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
v Model Hubungan Kewenangan
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah provinsi hanya me-miliki kewenangan yang terbatas sedangkan daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan yang luas. Sehingga lebih condong menganut “The Relative Autonomy Model” karena disini daerah sudah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam hal mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri (pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999). Sebagai contoh dalam hal membuat kebijakan atau aturan sendiri sehingga meminimalisir intervensi dari Pemerintah Pusat.

Pembagian Kewenangan urusan pemerintahan, berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dapat dijumpai dalam Bab IV yang mengatur tentang ke-wenangan daerah. Pasal 7 UU tersebut menegaskan bahwa :[1]
(1)     Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ke-wenangan bidang lain.
(2)     Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta  teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

v Model Otonomi
Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengatur bahwa daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi. Adapun daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi. Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah otonom penuh. Sehingga dengan kata lain UU No. 22 Tahun 1999 menganut “Otonomi Luas, nyata dan bertanggungjawab” meskipun otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota.

Berdasarkan pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 yang telah memberikan kewenangan yang cukup luas kepada daerah otonom, hal ini mencerminkan dianutnya “Otonomi Luas[2]
  
3.    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
v Model Hubungan Kewenangan
UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi menggunakan istilah kewenangan tapi urusan pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang tidak secara spesifik menentukan urusan pemerintahan yang menjadi kewe-nangannya, UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi secara jelas sama dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Hal yang mem-bedakan hanya lingkupnya saja dilihat dari kriteria eksternalitas, akun-tabilitas, dan efisiensi. Sehingga menurut saya UU No. 32 Tahun 2004 ini lebih condong menganut “The Relative Autonomy Model

v Model Otonomi
Pada dasarnya konsep Otonomi yang dipakai oleh UU No. 32 Tahun 2004 hampir sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 yaitu mengatur bahwa daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi. Adapun daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi. Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah otonom penuh. Sehingga Model Otonomi yang dianut lebih condong menganut “Otonomi Luas”. Karena didalam ketentuan Undang-Undang ini mengatur bahwa pada prinsipnya otonomi daerah yang dianut adalah “Otonomi Luas, nyata dan bertanggungjawab
-  Otonomi luas : daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
- Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yg senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dg potensi dan kekhasan daerah.
- Otonomi bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesra.


[1]     Lihat buku Muhammad Fauzan “Hukum Pemerintahan Daerah. Kajian tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah” hal 87
[2]     Ibid.

ANALISIS “AKIBAT HUKUM EKSEKUSI BENDA JAMINAN GADAI YANG DILAKUKAN OLEH KREDITUR”


Oleh :
Sigit Budhiarto
E1A0 10 234
Kelas C

Ketentuan dalam KUHPerdata, ada 2 (dua) cara untuk mengeksekusi “Benda Gadai” yang dapat dilakukan oleh Kreditur apabila Debitur “wanprestasi” antara lain :
1.    Jika hendak dijual secara tertutup (tidak di muka umum/privat sale), harus dilakukan melalui perantara pengadilan sesuai diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata. Tapi masih dengan catatan, para pihak memang telah sepakat bahwa kreditur diberikan kewenangan mengeksekusi atas benda jaminan tersebut secara penjualan langsung.
2.    Melalui bantuan kantor lelang negara sebagai bentuk penjualan di muka umum. Dengan demikian apabila para pihak telah menyepakati bahwa kreditur diberikan hak untuk mengeksekusi tanpa perantaraan pengadilan, kreditur dapat langsung meminta bantuan kantor lelang negara untuk menjual benda Gadai. Hal ini untuk memenuhi ketentuan ”menjual barangnya gadai di muka umum” dalam Pasal 1155 KUHPerdata. Penjualan yang demikian tidak disyaratkan adanya “titel eksekutorial”, yaitu penjualan tanpa melalui pengadilan, tanpa bantuan juru sita, tanpa perlu mendahuluinya dengan sitaan. Hak pemegang gadai untuk menjual benda gadai untuk menjual benda gadai tanpa titel eksekutorial yang demikian disebut dengan “parate executie (eigenmachtige verkoop)

Namun apabila ternyata Debitur belum dinyatakan wanprestasi tetapi Kreditur lantas menjual benda gadai tanpa sepengetahuan dari Debitur maka hal itu tentu saja melanggar kewajiban Pemegang Gadai (Kreditur) seperti yang tercantum dalam pasal 1156 ayat 2 dan 3 KUHPerdata yang mewajibkan Pemegang Gadai (Kreditur)  untuk memberitahukan kepada Pemberi Gadai (Debitur) jika benda gadai akan dijual. Maka setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh kreditur untuk menjual benda gadai tersebut dapat dinyatakan “batal”.
Karena pada prinsipnya seorang Kreditur baru memiliki hak untuk mengeksekusi benda gadai ketika debitur wanprestasi. Dan syarat seorang debitur dinyatakan wanprestasi tersebut tercantum dalam pasal 1155 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :
1.    Debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya
2.    Setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau
3.    Setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti,

Mengacu pada ketentuan pasal 1154 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat diambil suatu pemahaman bahwa seorang kreditur dilarang untuk mengalihkan benda gadai. Sehingga ketika kreditur menjual benda gadai kepada orang lain sedang ia bukanlah pemilik yang sebenarnya (tidak dalam kapasitasnya sebagai pemilik) maka perjanjian yang dibuat oleh kreditur ini dapat dinyatakan “batal”. Karena di mata hukum seorang yang ingin menjual benda, haruslah orang yang mempunyai kekuasaan penuh atas bendanya (hak milik) tidak lain adalah pemilik itu sendiri atau orang yang diberi kuasa oleh pemilik. Sedangkan kreditur disini tidak memenuhi kapasitasnya sebagai pemilik, ia hanya sebagai pemegang gadai yang dilarang menjadikan benda gadai menjadi miliknya. Seorang kreditur baru mempunyai hak untuk menjual gadai ketika debitur telah dinyatakan wanprestasi (pasal 1155 KUHPerdata) dan harus memberitahukan dahulu kepada debitur ketika akan menjual benda gadai tersebut (pasal 1156 ayat 2 dan 3 KUHPerdata).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wonk Talok - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger