Oleh :
Sigit
Budhiarto
E1A0
10234
Kelas
C
1.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah
v Model Hubungan
Kewenangan
Cenderung menganut “The Agency Model” (Model Agensi). Karena pada dasarnya Pemerintah
Daerah hanya sebagai Agensi / pelaksana kebijakan / perwakilan dari Pemerintah
Pusat. Segala tindakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus atas
persetujuan dari Pemerintah Pusat. Dan yang menanggung pertanggungjawaban
adalah Pemerintah Pusat itu sendiri.
v Model Otonomi
UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah.
Prinsip yang dipakai bukan “otonomi yang
riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”.
Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan
kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi.
Sehingga UU No. 5 Tahun 1974 ini lebih cenderung
menganut “Otonomi Terbatas” daripada
“Otonomi Luas”. Seperti yang
tercantum dalam pasal 68 UU No. 5 Tahun
1974 bahwa semua kebijakan yang
dibuat oleh Pemerintah Daerah baik berupa Peraturan Daerah maupun Keputusan
Kepala Daerah baru bisa diberlakukan setelah ada pengesahan pejabat yang
berwenang, sehingga Pemerintah Pusat dapat lebih mudah mengintervensi
Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakannya tersebut.
2.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah
v Model Hubungan
Kewenangan
Menurut UU No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah
provinsi hanya me-miliki kewenangan yang terbatas sedangkan daerah kabupaten
dan kota memiliki kewenangan yang luas. Sehingga lebih condong menganut “The Relative Autonomy Model” karena
disini daerah sudah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam hal mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri (pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999). Sebagai
contoh dalam hal membuat kebijakan atau aturan sendiri sehingga meminimalisir
intervensi dari Pemerintah Pusat.
Pembagian Kewenangan urusan pemerintahan,
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dapat dijumpai dalam Bab IV yang mengatur
tentang ke-wenangan daerah. Pasal 7 UU tersebut menegaskan bahwa :[1]
(1)
Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ke-wenangan
bidang lain.
(2) Kewenangan
bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber
daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
v Model Otonomi
Di dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengatur bahwa daerah
yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi. Adapun daerah
kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi. Konsekuensi
strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi sekaligus daerah
otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah otonom penuh. Sehingga
dengan kata lain UU No. 22 Tahun 1999 menganut “Otonomi Luas, nyata dan bertanggungjawab” meskipun otonomi daerah
yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota.
Berdasarkan
pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 yang telah memberikan kewenangan yang cukup luas
kepada daerah otonom, hal ini mencerminkan dianutnya “Otonomi Luas”[2]
3.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
v Model Hubungan
Kewenangan
UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi menggunakan istilah
kewenangan tapi urusan pemerintahan. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang
tidak secara spesifik menentukan urusan pemerintahan yang menjadi kewe-nangannya,
UU No. 32 Tahun 2004 menentukan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
provinsi secara jelas sama dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota. Hal yang mem-bedakan hanya lingkupnya saja dilihat dari
kriteria eksternalitas, akun-tabilitas, dan efisiensi. Sehingga menurut saya UU
No. 32 Tahun 2004 ini lebih condong menganut “The Relative Autonomy Model”
v Model Otonomi
Pada dasarnya konsep Otonomi yang dipakai oleh UU
No. 32 Tahun 2004 hampir sama dengan UU No. 22 Tahun 1999 yaitu mengatur bahwa
daerah yang menganut asas dekonsentrasi dan desentralisasi adalah provinsi.
Adapun daerah kabupaten dan kota hanya menganut asas desentralisasi.
Konsekuensi strukturalnya, daerah provinsi menjadi wilayah administrasi
sekaligus daerah otonom sedangkan daerah kabupaten dan kota menjadi daerah
otonom penuh. Sehingga Model Otonomi yang dianut lebih condong menganut “Otonomi Luas”. Karena didalam ketentuan
Undang-Undang ini mengatur bahwa pada prinsipnya otonomi daerah yang dianut
adalah “Otonomi Luas, nyata dan
bertanggungjawab”
- Otonomi luas
: daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
- Otonomi nyata
: penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban
yg senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang
sesuai dg potensi dan kekhasan daerah.
- Otonomi bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah, termasuk meningkatkan kesra.